Dikotomi Ilmu; Akar Tumbuhnya Dikotomi Ilmu dalam Peradaban Islam
Ditulis Oleh: *Abdul Katar
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) IAIN STS Jambi
PENDAHULUAN
Dikotomi ilmu pengetahuan dalam dunia
pendidikan sudah terlanjur terjadi. Hal ini mengapresiasi para cendikiawan
untuk dapat berfikir dan menggali lebih banyak tentang ilmu pengetahuan.
Implikasi yang bisa muncul dari dikotomi ilmu adalah timbulnya kesenjangan
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Para pendukung ilmu agama menganggap
valid sumber Ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak
sumber-sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan
kebenaran sejati. Di pihak lain, ilmuan-ilmuan sekuler hanya menganggap valid
informasi yang diperoleh melalui pengamatan indrawi.
Sejarah mencatat bahwa peradaban islam
pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 M. sampai abad
ke-15 M. Setelah itu masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan terkesan
mundur hingga abad ke-21 M. ini. Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan,
pendidikan islam yang berkembang adalah pendidikan islam non-dikotomis yang
akhirnya mampu melahirkan intelektual muslim yang memiliki karya sangat besar
dan berpengaruh positif terhadap eksistensi kehidupan manusia. Cendikiawan
muslim tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat dari buku Yunani,
tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan dalam
lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam ilmu filsafat.
Dengan demikian lahirlah ahli-ahli ilmu pengetahuan diberbagai bidang termasuk
ahli filsafat (filosof-filosof islam).
Dengan banyaknya ahli-ahli filsafat yang
muncul pada masa keemasan islam tersebut, maka terjadilah dikotomi ilmu
pengetahuan. Dan selanjutnya pada makalah ini akan dikupas sedikit maupun
banyak tentang hal-hal yang terkait dengan dikotomi ilmu pengetahuan dalam
peradaban islam seperti: pengertian dikotomi ilmu, akar tumbuhnya dikotomi ilmu
pengetahuan dalam peradaban islam, konsep islam tentang ilmu pengetahuan,
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dikotomi ilmu, dan dampak dikotomi
ilmu pengetahuan terhadap pengembangan pendidikan islam.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dikotomi Ilmu
Secara harfiah dikotomi berasal dari bahasa Inggris
yaitu “dichotomy” yang artinya
membedakan dan mempertentangkan dua hal yang berbeda. Kata yang dalam bahasa
Inggrisnya “dichotomy” tersebut, digunakan sebagai serapan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “dikotomi” yang arti harfiahnya dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.[1]
Mujamil Qomar mengatakan bahwa dikotomi adalah pembagian atas dua konsep
yang saling bertentangan.[2]
Selanjutnya Pius A. Partanto dan
M. Dahlan Al-Barry mengartikan bahwa dikotomi sebagai pembagian dalam dua bagian
yang saling bertentangan.[3]
Sedangkan Yuldelasharmi dalam
Samsul Nizar mengartikan bahwa
dikotomi sebagai pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua
yang terpisah satu sama lain, dimana yang satu sama sekali tidak dapat
dimasukkan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya.[4] Maka
ketika menempatkan sesuatu pada dua kutub yang saling berlawanan dan antara dua
kutub yang berbeda tersebut sulit diintegrasikan. Sikap tersebut telah
menunjukkan sikap dikotomi.
Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau
membedakan ilmu secara teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang
dianggap saling bertentangan serta sulit untuk diintegralkan.[5]
Dengan demikian, apapun bentuk pembedaan secara diametral terhadap ilmu secara
bertentangan adalah berarti dikotomi ilmu. Sehingga secara umum timbul istilah
“ilmu umum (non agama) dan ilmu agama; ilmu dunia dan ilmu akhirat; ilmu hitam
dan ilmu putih; ilmu eksak dan ilmu non-eksak, dan lain-lain. Bahkan ada
pembagian yang sangat ekstrim dalam pembagian ilmu pengetahuan dengan istilah
seperti ilmu akhirat dan ilmu dunia; ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu
syar’iyyah.
B.
Akar Tumbuhnya Dikotomi Ilmu Dalam Peradaban Islam
Istilah dikotomi ilmu merupakan sikap atau paham yang
membedakan, memisahkan, dan mempertentangkan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu non-agama (ilmu umum). Istilah-istilah untuk diskursus ini beberapa
diantaranya adalah “ilmu akhirat” dan “ilmu dunia”. Ada juga yang menyebutkan
dengan ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu syar’iyyah, [6] bahkan ada juga sebutan lainnya seperti al-‘ulum
al-diniyyah dan al-‘ulum al-‘aqliyyah.[7]
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar
yakni ilmu-ilmu tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal
manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah baik dalam kitabnya
maupun hadis-hadis nabi Muhammad; dan ilmu-ilmu kauniyyah yaitu
ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Semua
klasifikasi ilmu dengan varian istilah tersebut merupakan pemisahan dua arah
keilmuan. Artinya semua ekstensi ilmu dipertentangkan dan dipisahkan antara
satu dengan lainnya dalam bingkai realitas yang terfregmentasi menjadi sub sistem
yang masing-masing berdiri sendiri.
Istilah lain dari
dikotomi ilmu pengetahuan adalah hellenis untuk ilmu umum atau ilmu
modern dan semitis untuk ilmu agama. Gagasan hellenis berasal
dari Yunani klasik yang ciri menonjolnya memberikan porsi yang sangat besar
terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap rasional serta lebih menyukai
ilmu-ilmu secular. Sedangkan gagasan semitis mewarnai alam pikiran kaum
agamawan, terutama agama Yahudi dan Nasrani yang mendahului islam, dengan ciri
menonjolnya memberikan porsi yang sangat besar terhadap otoritas wahyu, sikap
patuh terhadap dogma serta berorientasi kepada ilmu-ilmu keagamaan.[8]
Sedangkan Harun Nasution mengistilahkan dikotomi ilmu dengan istilah “dualisme
ilmu”.[9]
Dalam dualisme, unsur-unsur yang paling mendasar dari setiap realitas itu
cenderung dipertentangkan namun tidak saling menafikan antara keduanya,
misalnya kejahatan dan kebaikan, Tuhan dan alam semesata, ruhani dan jasmani,
jiwa dan badan, dan lainnya.
Jika istilah dikotomi ilmu itu hanya sekedar membedakan
atau mengklasifikasikan ilmu menjadi “ilmu agama” dan “ilmu non-agama”,
sebenarnya tidakmenjadi masalah selama tidak berlebihan, apalagi sampai
melakukan diskriminatif terhadap salah satu diantara keduanya.[10]
Tradisi dikotomik ilmu dalam islam tidak bisa diingkari, tetapi perlu diakui
validasi dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan seperti yang terjadi
di masa Nabi Muhammad dan generasi sesudahnya. Secara klasfikasi, memang mereka
membedakan keduanya, akan tetap secara prinsip mereka memposisikan dalam status
dan kedudukan yang sama, sehingga keduanya mendapat porsi yang sama untuk
dieksplorasi.
Dalam perspektif fakta sejarah, proses pengembangan
budaya dan ilmu pengetahuan dalam islam, terjadi akulturasi nilai antar
disiplin khazanah keilmuan islam. Pemikiran filsafat diadopsi sebagai dasar
pola pikir dalam ilmu kalam –padahal keduanya merupakan disiplin ilmu yang
berbeda- , maka terkesan adanya infiltrasi teori-teori yang
fregmentatif-konfrontatif dengan doktrin islam. Melihat fakta tersebut,
tokoh-tokoh agam islam mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi buta” hingga
mengharamkan filsafat, dan mengkafirkan orang-orang yang mempelajaridan
mengajarkannya. Salah satunya adalah al-Ghazali.[11] dengan
bukunya “Tahafut al-Falasifah” dengan banyak mengecam filsafat. Di
tangannya, dunia islam dipenuhi dengan sisi mistis (tasawuf).
Pengaruh Al-Ghazali dalam islam tidak dapat diragukan
lagi. Hingga dewasa ini karya-karya tulisannya masih digemaridan dibaca secara
meluas di seluruh penjuru dunia. Lebih dari pemikir-pemikir islam lainnya,
buku-buku Al-Ghazali masih terus dibicarakan. Pengaruhnya dalam masyarakat
islam diperhitungkan jauh lebih besar dari pada ahli teologi muslim mana pun
dalam sejarah.
Sedemikian hebatnya Al-Ghazali dalam penguasaan ilmu
memunculkan pertanyaan besar, apakah masih belum cukup untuk memberikan
pengakuan bahwa ia benar-benar mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kemajuan
peradaban dan perkembangan dunia intelekual umat islam bahkan non-islam?. Dan
kecamana Al-Ghazali terhadap para filosof dengan argument rasional dan
filosofis dalam Tahafut al-Falasifah masih belum cukup untuk menunjukkan
bahwa yang ia lakukan bukan dalam rangka membunuh kreatifitas intelektual umat
islam, apalagi menjauhkan peradaban islam dari filsafat.[12] Justru
sebaliknya ia memberikan apresiasi yang sangat positif terhadap akal sebagai
salah satu instrumen mencari pengetahuan, karena yang dilakukannya adalah dalam
rangka mendudukkan akal manusia pada batas-batas wilayahnya.[13]
Dalam kritiknya Al-Ghazali mengatakan “kafir” terhadap
para filosof muslim saat itu, ia menilai mereka terlalu jauh terkontaminasi
logika Yunani yang tidak dilandasi pada kebenaran wahyu Tuhan.[14]
Sanggahan Al-Ghazali terhadap metafisika spektakuler filosof muslim dan system
pemikirirannya, tentang jaringan relasional antara sebab-akibat pada peristiwa
dan phenomena alam, merupakan sebuah perdebatan menarik dalam sejarah pemikiran
islam. Hal ini terbukti dengan munculnya counter kritis Ibnu Rusyd
terhadap pandangan Al-Ghazali yang dituangkan dalam Tahafut al-Tahafut.[15]
Terlepas dari kebesaran
Al-Ghazali dan kritiknya tersebut, pasca Al-Ghazali realitas ilmu menunjukkan
semakin dikotomik bahkan ada gab antara dualisme ilmu, antara “ilmu
agama” dan ilmu umum” terbuka sangat lebar. Tragisnya lagi adalah kondisi para
ilmuan atau filosof yang banyak dikucilkan, bahkan ada sebagian dari mereka
yang kemudian ditangkap, dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibakar,
seperti yang dialami oleh al-Rukn dan Ibnu Rusyd. Dengan demikian, sejak saat
itu berkembanglah paham anti ilmu pengetahuan (“ilmu non agama”) dikalangan
umat islam hingga berabad-abad lamanya.
C.
Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan
Epistimologi Islam mengandung sebuah konsep yang
holistik mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan
pengetahuan dengan nilai-nilai. Al-Qur’an menekankan agar umat Islam mencari
ilmu pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut
ilmmu pengetahuan diberikan derajat yang tinggi. Bahkan al-Quran menegaskan
bahwa tidaklah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang
tidak berpengetahuan.[16]
Dari ketegasan makna ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa ternyata Islam
tidak pernah mengdikotomikan ilmu pengeatahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan
agama merupakan sesuatu hal yang harus dipahami sebagai suatu yang totalitas
dan integral.
Kemudian Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah
artikulasi terbaik mengenai epistimologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya
dalam kitab pengetahuan karya Al-Ghazali (1058-1111). Al-Ghazali seorang guru
besar dari universitas Nizhamiyah Bagdad. Al-Ghazali mengemukakan ilmu
pengetahuan berdasarkan tiga kriteria:[17]
1.
Sumber
a. Pengetahuan yang
diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khusus oleh para nabi dan rasul. Manusia
memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat pada wahyu yang
diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
b. Pengetahuan yang tidak
diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini adalah akal, penngamatan,
percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).
2.
Kewajiban-kewajiban
a. Pengetahuan yang
diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-‘ain); pengetahuan yang penting
sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan dan
hukum sipil.
b. Pengetahuan yang
diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu pengetahuan yang
penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya pertanaian,
obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin.
3.
Fungsi sosial
a. Ilmu-ilmu yang patut
dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh diabaikan karena
segala aktivitas hidup ini tergantung padanya.
b. Ilmu-ilmu yang patut
dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
c. Dari kerangka keilmuan
di atas dapat dipahami bahwa antara agama dan sains tidak berdiri sebagai dua
buah kultur yang saling berpisah tapi merupakan sesuatu yang
integral. Pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama terjadi pada abad
pertengahan, setelah pelajar Yunani dari Konstatinopel ke Eropa. Sehingga
terjadilah rasa permusuhan dan jurang pemisah antara ilmu pengetahuan dan
agama.
D.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan
Timbulnya Dikotomi Ilmu
Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul
akibat dari beberapa hal. Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu
itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang
disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan
induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi
merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat
ilmu (philosophy of knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu
“tahu”, bagaimana cara mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang
dasar-dasar, sumber, tujuan dan klasifikasi pengetahuan. dari epistemologi,
muncullah struktur ilmu pengetahuan sampai ke anak cabang.[18]
Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother off all
sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, anggap saja ilmu
pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang ilmu yang
makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi
pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah
lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan
kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya. Tak pelak lagi hal ini
menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak
cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan, di mana
pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masing-masing.[19]
Kedua, faktor historis
perkembangan umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak
Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa
sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini disebabkan karena kesalahan
sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha
dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan
bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu,
sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif.[20]
Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini
tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila
dibandingkan dengan umat dan negara lain.
Ketiga, faktor internal
kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan
pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan
budaya yang dihadapi umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam.[21]
Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan
ilmu umum. Sebenarnya, asumsi mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga
pendidikan. Bagaikan sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh
penjuru kehidupan umat Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan
faksi-faksi dalam Sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran
teologi. Adapun dalam pendidikan Islam itu sendiri, masih menghadapi pola pikir
dikotomik, yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-wahyu, iman-ilmu,
Allah-manusia-alam, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum.Sehinggga mau tidak
mau paradigma masyarakat kita sudah terjadi dikotomi tersebut. Bahkan hal ini
diperparah lagi kondisi pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem politik,
budaya, hukum, dan seterusnya yang melanda umat Islam, sebagai krisis yang
dialami pendidikan Islam.
Setelah kita berbicara mengenai akar
masalah dikotomi ilmu di Indonesia, sekarang akan dipaparkan penyebab dan
akibatnya dikotomi ini secara luas (sejarah Islam). Kemunculan dikotomi
pendidikan menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Jasa Ungguh
Muliawan, ia bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”,
yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian
empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.[22]
Selain itu terjadinya krisis multidimensi dalam pendidikan Islam, meminjam
istilah Azyumardi Azra ia melihat pada persoalan-persoalan yang memang secara
riil dihadapi oleh sistem pemikiran dan pendidikan Islam pada umumnya.
Sedangkan secara gamblang Azyumardi Azra
menyebutkan bahwa permasalahan dikotomi pendidikan (ilmu) pertama berkaitan
dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis konseptual baik
itu pada tataran epistemologisnya. Krisis konseptual tentang defenisi atau
terjadinya pembatasan ilmu-ilmu dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri, atau
melihat konteks Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional.[23]
Pada prinsipnya dikotomi keilmuan
(pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan
pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi
Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan
membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.[24]
Krisis konseptual yang dimaksud adalah
terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam. Kita sering mendengarkan adanya
istilah ilmu-ilmu profane, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences),
yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah /
religious sciences) atau menurut Azyumardi Azra yaitu ilmu-ilmu sacral
(transenden).[25]
Sehingga hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu
sendiri, tapi juga hal ini menyebabkan terjadinya pengkotakan (adanya gap) pada
bidang kelembagaan, yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan.
Krisis kelembagaan ini adalah adanya
dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu
aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum.
Ini jelas sekali terefleksi di Indonesia; misalnya dengan adanya dulaisme
sistem pendidikan, pendidikan agama yang diwakili madrasah dan pesantren dengan
pendidikan umum; di tingkat pendidikan tinggi terdapat IAIN (sekarang UIN) dan
perguruan tinggi umum.[26]
Hal ini dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang
dibawah naungan Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula
dapat berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana. Akan tetapi seiring
waktu UIN dengan segala perkembangannya membuka Fakultas Tadris yang membuka
jurusan-jurusan ilmu-ilmu umum.Hal ini menjadi babak baru buat memecahkan
masalah dikotomi pendidikan di Indonesia.
E.
Dampak Dikotomi Ilmu Pengetahuan
Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam
Menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua
penyebab utama terjadinya dikotomi pendidikan dalam dunia Islam, yaitu:
1. Imperialisme dan
Kolonialisme Barat atas Dunia Islam
Sebagai
akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada
umat di abad ke 6 dan 7 H atau sekitar abad ke 12 dan 13 M., yakni serbuan
tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim
kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka
berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang
sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang
paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengemukakan
ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu mereka
meninggalkan sumber utama kreatifitas, yakni “ijtihad”.
Mereka
mencanangkan penutupan pintu ijtihad. Mereka memperlakukan syari’ah sebagai
hasil karya yang sempurna dari para leluhur. Mereka menyatakan bahwa setiap
penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak
disukai dan terkutuk. Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah
harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan
Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa
Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan
tindakan-tindakan konservatif tersebut.
Pada
zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di
Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki
karena disini kekuatan Barat berhasil diusir. Sementara Yaman dan Arab Tengah
dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat
mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang
menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap
kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua
abad terakhir ini, para pemimpin Muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba
melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan
secara politik, ekonomi, dan militer.
Penjajahan
Barat atas dunia Muslim menyebabkan umat Islam tidak berdaya. Dalam kondisi
seperti itu, tidak mudah bagi umat Islam untuk menolak upaya-upaya yang
dilakukan Barat terutama injeksi budaya dan peradaban modern Barat. Tak pelak,
ilmu-ilmu Barat sering menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum
sekolah Islam. Sementara upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum
(Barat) tidak begitu dilakukan waktu itu, yang terjadi justru pemisahan secara
dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum sekuler.[27]
2. Pemisahan antara
Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
Di awal
sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin. Wawasan
Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di
dalam sejarah menentukan semua tingkah laku. Itulah keasyikan dari seluruh
masyarakat Islam. Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas
tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali
ke dalam pola-pola Islam.
Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli
fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits,
guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha,
dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di
sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan
itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan
aksi ini pecah. Saat keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk. Para
pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh
manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak
memperoleh kearifan mereka. Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat
warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk
mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang
semakin banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin
jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai
balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik.
Mereka
cenderung kembali melihat ke belakang pada masa kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa bangga atas
keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim kurang
menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan
itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat
mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.[28]
Al Faruqi mengungkapkan bahwa pendikotomian
merupakan simbol jatuhnya umat Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus
dapat mengungkapkan relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama,
kesatuan pengetahuan; kedua, kesatuan hidup; dan ketiga, kesatuan
sejarah. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat
Islam sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai
abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ini pada kelanjutannya berdampak
negatif terhadap kemajuan Islam.
Sementara
Ikhrom mengemukakan bahwa
setidaknya terdapat empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama, sebagai berikut:
a.
Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; di mana selama ini,
lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai
lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fil al din yang
menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka; sementara itu, modernisasi
sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum ke dalam suatu
lembaga telah mengubah citra pesantren sebagai lembaga taffaquh fil adin tersebut.
Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya
menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern
yang sekuler.
b.
Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam.
Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang
memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum.
c.
Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing
sistem (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh mempertahankan
kediriannya atau egoisme.[29]
d.
Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini
disebabkan karena pendidikan Barat kurang menghargai nilai-nilai kultur dan
moral.
Selanjutnya, International Institut of Islamic
Thought Herndon Virginia menyatakan bahwa, dikotomi merupakan salah satu
krisis utama umat yang berdampak pada beberapa ruang lingkup kehidupan umat,
meliputi: konteks politik, konteks ekonomi, dan konteks kebudayaan dan agama.
Upaya
pembendungan dikotomi ilmu ini dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu dalam Pendidikan Islam
yang dimuat dalam tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu: model purifikasi,
modernisasi Islam dan Neo-Modernisme.[30]
1.
Islamisasi Model Purifikasi
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses
Islamisasi berusaha menyelenggarakan pengendusan ilmu pengetahuan agar sesuai
dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari berislam yang
parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuwan Muslim dituntut menjadi actor
beragam yang loyal, concern dan commitment dalam menjaga dan
memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta
bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan bidang keahliannya
masing-masing dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan.
Model Islamisasi ini sebagaimana dikembangkan oleh Al-Faruqi
dan Al-Attas. Adapun empat rencana kerja Islamisasi Pengetahuan Al-Faruqi,
meliputi: (a) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (b) penguasaan
khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c) indentifikasi kekurangan-kekurangan
ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal Islam, dan (d) rekonstruksi
ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras dengan wawasan dan
ideal Islam.
2.
Islamisasi Model Modernisasi Islam
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model
ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang
disebabkan oleh sempitnya pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem
pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa
non-muslim. Islamisasi disini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam proses
perubahan sosial, perkembangan IPTEK, adaktif terhadap perkembangan zaman tanpa
harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.[31]
Modernisasi berarti berfikir
dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak. Untuk melangkah modern,
umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah swt) sebelumnya yang
pada giliran berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti
bersikap ilmiah, rasional, menyadari keterbatasan yang dimiliki dan
kebenaran yang didapat bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa
memiliki semangat untuk maju dan bangun dari keterpurukan dan ketertinggalan.
3.
Islamisasi Model Neo-Modernisme
Model ini berusaha memahami ajaran-ajaran
dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits dengan
mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati
kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan IPTEK.[32]
Islamisasi model ini bertolak dari landasan metodologis; (a)
persoalan-persoalan kotemporer umat harus
dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama terdahulu
hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Quran, (b) bila dalam
tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan kotemporer, maka
selanjutnya menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-Quran yang
dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, (c) melalui telaah historis akan
terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika sosial al-Quran,
(d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi dengan umat
sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas
persoalan yang dihadapi umat tersebut.[33]
Dari
ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata
rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna membangun kembali kebebasan penalaran
intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap
merujuk pada kandungan al-Quran dan al-Hadits. Oleh karenanya, hendaknya selaku
seorang pendidik, kita memahami krisis dan kemelut umat ini dengan baik agar
dapat menghindari keberlanjutan praktik dikotomi ilmu ini dalam dunia
pendidikan yang digeluti.
PENUTUP
Secara prinsip dan konseptual, sebenarnya
dikotomi terhadap ilmu dalam arti yang
berlebihan yang berlebihan, mempertentangkan dan diskriminatif- tidak
terformulasi secara paradigmatic dalam islam. Islam tidak pernah
memformulasikan apalagi memisahkan secara diametral-konfrontatif antara ilmu
agama dan ilmu umum. Dalam pemahaman dan konsep islam sebagai konsep universal-
segala ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah bersumber dari satu, yakni Allah
SWT.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
setiap ilmu pengetahuan mempunyai pengaruh dan dampak yang positif maupun
dampak yang negatif terhadap zaman dan pendengarnya. Setiap ilmu mempuyai
kelebihan tersendiri, walaupun pada akhirnya terjadi perdebatan yang hebat
sesuai dengan pendapat dan alasan yang rasional dalam memunculkannya. Dan semua
pendapat yang membentuk ilmu itu terdikotomi, membuktikan bahwa manusia
mempunyai kelebihan, yang selanjutnya menjadi renungan bahwa Allah-lah pemilik
segala ilmu pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Malik Padjar, Reorientasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999)
Abd. Rahman Assegaf, Pengantar
dalam buku Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Abdul Gofur, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Insan Media Group, 2010)
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010)
Ahmad Baihaki, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Presada Media Group. 2010)
Ahmad Zainul Hamdi, Epistemologi
dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali, (Jumal Al-Tahrir, 2001)
Al-Ghazali, Neraca Kebenaran,
diterjemahkan oleh Kamran As’ad, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003)
Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah, diterjemahkan oleh M. Fahmi Muqoddas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004)
Azyumardi Azra, Esei-esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998)
Azyumardi Azra, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas,
2006)
Azyumardi Azra, Rekonstruksi
Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas
Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)
Baharuddin, Dkk., Dikotomi
Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011)
Harun Nasution, Islam
Rasioinal: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan,
1995)
http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html.
Diakses tanggal 27 Juni 2015
http://restuillahi.blogspot.com/2011/07/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html,
diakses tanggal 27 Juni 2015
Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization
of Knowledge : General Principles and Work plan, (Hemdon : HIT, 1982)
Jalaludin dan Usman Said, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999)
M. Shofan, Pendidikan
Berparadigma Profetik, (Yogyakarta: Ircisod-UMG Press. 2004)
Mahmud Arif, Pendidikan Islam
Transformatif, (Yogyakarta: LKIS,
2008)
Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta:
Erlangga, 2006)
Pius A. Partanto dan M. Dahlan
Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994)
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy,
Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya:
Bina Ilmu, 2005)
Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Nabi Muhammad Sampai
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001)
Fotenote
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 264.
[2]Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta:
Erlangga, 2006), 74.
[3] Pius A. Partanto dan M. Dahlan
Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 110.
[4] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Nabi Muhammad Sampai
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 230.
[5] Baharuddin, Dkk., Dikotomi
Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 44.
[6] Istilah yang dikemukakan oleh
al-Ghazali, kemudian banyak berkembang di dunia islam khususnya di Indonesia
dikalangan pesantren.
[7] Sebutan lain untuk al-‘ulum
al-‘aqliyyah adalah ilmu klasik (‘ulum al-Qudama atau Awail). Ahmad Munir
Mursyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha Wa Tathawwuruha, (Kairo:
Maktabah Dar al-‘Alam, 1986), 193.
[8] A. Malik Padjar, Reorientasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999),
99-100.
[9] Harun Nasution, Islam
Rasioinal: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan,
1995), 40.
[10] Baharuddin, Dkk., Dikotomi
Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 4.
[11] Al-Ghazali, Neraca Kebenaran,
diterjemahkan oleh Kamran As’ad, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), xii.
[12] Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah, diterjemahkan oleh M. Fahmi Muqoddas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), vi.
[13] Ahmad Zainul Hamdi, Epistemologi
dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali, (Jumal Al-Tahrir, 2001), 174.
[14] Al-Ghazali bukan mengkafirkan
semua pendapat para filosof, akan tetapi dari 20 masalah (16 metafisika dan 4
fisika) hanya 3 persoalan yang diklaim telah melenceng dari agama yaitu:
qadimnya alam, pengetahuan Tuhan, dan masalah kebangkitan jasmani. Anggapannya
bahwa filsafat telah melampaui wewenangnya.
[15] Karya Ibnu Rusyd ini merupakan
serangan frontal terhadap buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Karya ini
disusun 85 tahun setelah Tahafut al-Falasifah. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa
“mengingkari hokum sebab-akibat (kausalitas) berarti juga menolak ilmu
pengetahuan, dan berarti pula menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini
yang dapat diketahui secara pasti”. Lihat Abu al-Walid Ibn Rusyd, Tahafut
al-Tahafut, Edit.: Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1963), 319.
[16] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 228.
[17] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html.
Diakses tanggal 27 Juni 2015
[18] Mahmud Arif, Pendidikan Islam
Transformatif, (Yogyakarta: LKIS,
2008), 101.
[19] Abd. Rahman Assegaf, Pengantar
dalam buku Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), vii-ix.
[20] Azyumardi Azra, Rekonstruksi
Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas
Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 87.
[21] Abd. Rahman Assegaf, Pengantar
dalam buku Pendidikan Islam Integratif, viii.
[22] Azyumardi Azra, Esei-esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998),
94.
[23] Azyumardi Azra, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas,
2006), 114.
[24] Azyumardi Azra, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas,
2006), 217-221.
[25] Azyumardi Azra, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, 115-116.
[26] Azyumardi Azra, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, 116-117.
[27] http://restuillahi.blogspot.com/2011/07/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html,
diakses tanggal 27 Juni 2015
[28] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2005), 9.
[29] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), 26-27.
[30] Salim Bahreisy dan Said
Bahreisy, Ilmu Pendidikan Islam,
(Surabaya: Bina Ilmu, 2005), 38.
[31] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), 21.
[32] Abdul Gofur, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Insan Media Group, 2010), 48.
[33] Ahmad Baihaki, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Presada Media Group. 2010), 28.
Comments
Post a Comment