Pemikiran Pendidikan Islam KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Majid

Ditulis Oleh: *Abdul Katar
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) IAIN STS Jambi

PENDAHULUAN
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H. Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl-Sunnah wal Jama’ah, menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial.
Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang keempat, menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Ia selalu membela golongan-golongan yang tertindas. Gus Dur juga diberi gelar Bapak Pluralisme Indonesia karena sikap toleransi yang tinggi tehadap perbedaan-perbedaan yang ada, seperti masalah agama, ras dan sebagainya.
Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pendidikan dan pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang konsep pendidikan Islam perspektif K.H. Abdurrahman Wahid. 
Nurcholis Madjid adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi untuk banyak orang. Pemikiran-pemikirannya tak luput dari sorotan banyak ahli baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tidak jarang banyak pemikirannya yang dijadikan sebagai rujukan dalam pembahasan terkait keIslaman, keIndonesiaan, Politik bahkan Pendidikan.
Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam.
Bagaimana halnya dengan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid tentang pendidikan? Dalam makalah ini akan dibahasan gagasan-gagasan beliau mengenai pendidikan yang meliputi: riwayat hidup, pendekat teori, isi teori, ide pokok pemikiran serta analisis relevansi teori KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid dengan pendidikan saat ini.

PEMBAHASAN
A.     KH. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
1.      Biografi Gus Dur
KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, lahir di Denanyar Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Nama kecilnya adalah Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.[1]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara.  Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra dari K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang.  Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya, Gus Dur merupakan campuran darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih (kalangan kiai). Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek dan ayahnya adalah salah satu dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan nasional. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak, yaitu Alissa Qothrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.
Sejak kecil Gus Dur sudah mengenal beragam pengetahuan dan beragam lingkungan. Di awal masakecilnya ia dikenalkan pada dunia pesantren di Jombang. Kemudian, pada usia 4 tahun ia langsung melompat ke wilayah paling metropolis dan glamor di Jakarta dan berkenalan dengan  berbagai tokoh pergerakan. Di  Jakarta, Gus Dur belajar banyak hal. Tidak hanya dari ayahnya, tetapi dari pergaulan ayahnya dari kalangan pesantren, nasionalis bahkan komunis.  Inilah yang menjadikan Gus Dur di kemudian hari sangat minat akan pengetahuan, dan mampu menjembatani  secara dialogis dan berkesinambungan antara tradisi pesantren  dengan dunia modern.
Gus Dur memperkaya bahasanya dengan mempelajari bahasa Perancis ketika ia belajar di kota Baghdad. Selain bahasa, ia juga belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas Yahudi. Hal ini didukung oleh perpustakaan di Universitas Baghdad yang menyediakan sumber informasi yang sangat luas. Di kota ini pula, Gus Dur  belajar sufisme dan sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam para wali kelas dunia.
Ketika pulang ke Indonesia, ia menerapkan semua ilmu yang diperolehnya. Apa yang diperjuangkan Gus Dur tidak lain adalah perjuangan kemanusiaan,  pluralisme dan mempertahankan nasionalisme.[2]
Gus Dur wafat pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta, pada pukul 18.45 WIB. Akibat penyakit komplikasi diantaranya penyakit jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.[3]
2.      Perkembangan dan Tipologi Pemikiran
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan  ide- ide liberalnya.[4] Dalam kegiatan- kegiatannya yang berkaitan dengan perjalanan, membaca dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Menurut Greg Barton, barangkali ia mengerjakan hal ini secara lebih lengkap dari pada mayoritas inteletual Islam Indonesia lainnya.[5]
Secara kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, semua aktifitas tersebut mendapat apresiasi oleh banyak pihak, termasuk yang tampak dari penghargaan Megsaysay dari pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993) dan Penghargaan Dakwah Islam Dari Pemerintah Mesir (1991).[6]
Cendikiawan liberal seperti Gus Dur dan kebanyakan ulama NU terbuka untuk berlajar dari tradisi lain, termasuk tradisi-tradisi yang terdapat di jantung spiritualitas Jawa dan Asia Tenggara sebelum datangnya Islam. Greg dalam Syafi’i Ma’arif, menyebut Gus Dur sebagai seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batas-batas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana  modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar. [7]  Hal ini sejalan dengan keyakinan yang dianut secara luas oleh kaum tradisionalis bahwa segala sesuatu yang tidak secara jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan sunnah Nabi maka hal itu diizinkan selama terdapat konsistensi dengan prinsip-prinsip dan nilai –nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sebaliknya kaum cendikiawan konservatif dengan  latar belakang  modernis, jika sesuatu tidak ada acuannya dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka hal itu harus diperlakukan secara hati- hati; dan jika sesuatu mengandung unsur bertentangan dengan monoteisme Islam maka hal itu juga harus dihindari.

Dalam prakteknya, keterbukaan Gus Dur terhadap tradisi, dituangkannya dalam kehidupan sehari- hari. Pada saat itu Gus Dur mencoba menggabungkan studi Islam dengan pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap ilmu dan pemahaman. Ia sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional. Dalam pandangan Gus Dur terdapat perbedaan antara panteisme yang terdapat dalam mistisme kaum abangan dan priyai yang sangat tidak Islami dengan monoteisme yang terdapat dalam sufisme Islam tradisional. Hal inilah yang menurut Greg Barton, merupakan perbedaan yang fundamental antara pendekatan yang digunakan kaum modernis dan tradisional terhadap kebudayaan Indonesia.
Pola pemikiran Gus Dur, kiranya dapat ditelusuri sejak tahun 1970-an. Pada periode awal ini ia banyak mencurahkan perhatiannya tentang dunia pesantren yang memang digelutinya secara langsung. Ia telah menulis sejumlah artikel, dan bagian- bagian terpentingnya dipublikasikan dalam buku “Bunga Rampai Pesantren (1978)”,. Di samping ia memperkenalkan kepada orang luar prihal kekuatan yang ada di pesantren, misalnya percaya diri dan gaya hidup sederhana. Gus Dur mengingatkan kepada orang dalam bahwa pesantren kini sedang dipersimpangan jalan, bahkan dalam ambang kemandegan. Hal itu diantaranya disebabkan karena imbas modernitas di satu sisi dan di sisi lain karena kurang terakomodasinya tuntutan- tuntutan masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat. Maka tidak ada jalan lain menurutnya kecuali harus dilakukan “dinamisasi”, yaitu usaha untuk membangkitkan kualitas secara progresif yang memungkinkan Islam tetap relevan dan dapat diterima. Yang dapat dicatat di sini bahwa pada tahap awal ini Gus Dur telah menempatkan dirinya sebagai “penyambung budaya”, yaitu membawa sub- kultur (pesantren) ke perbincangan multi-kultur (modernitas), seolah ia berharap orang-orang pesantren dapat mencari jalan keluar sendiri dalam menangani tantangan modernitas.[8]
Ketika Gus Dur memulai eksplorasi keilmuannya di luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam dapat mengadakan perubahan. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh Islamisme yang radikal. Tujuh  tahun kemudian ia kembali ke Indonesia sebagai seorang yang penuh komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam. Adapun pengaruh-pengaruh yang membentuk liberalismenya tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan juga tidak mengejutkan bahwa daya tarik Islamisme radikal tidak berumur panjang. Menurut John L. Exposito dalam Greg Barton, pengaruh-pengaruh tersebut adalah: pertama, faktor keluarga yang senantiasa mengajarkannya untuk selalu berfikir terbuka dan mempertanyakan sesuatu secara intelektual; kedua, bahwa ia dibesarkan di dunia mistik Islam tradisional Indonesia; ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya dan masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme. Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelejarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mencoba mengintegrasikan pemikiran Barat modern dan Islam.
Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya ketika Gus Dur kembali ke Indonesia setelah menjalankan studinya di luar negeri, bersama dengan para intelek lainnya, ia tergabung dalam sekelompok kecil pemikir-pemikir perintis yang tengah bergulat untuk memperbarui pemikiran hukum Islam. Masa tahun-tahun ini, Gus Dur sering terlibat dalam pemikiran intensif dalam merumuskan pemahaman keIslaman yang integral dan komprehensif. Ia mulai melakukan terobosan-terobosan pemikiran, yang kemudian mengantarkannya sebagai pemikir kritis termasuk pada tradisi keagamaannya sendiri. Pemikiran barunya terlihat nyata dalam perumusannya tentang konsep Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja) yang berbeda dengan mainstrem umum pemahaman masyarakat.[9]
Sebagaimana diketahui, doktrin ini merupakan landasan paling pokok dalam pandangan keagamaan kaum tradisionalis. Begitu mendasarnya doktrin ini sampai- sampai dapat disebut, wujud kongkrit tentang apa yang disebut Islam di kalangan ini adalah Aswaja itu sendiri, yang dipahami dalam dimensi ideologi sebagai benteng pertahanan tradisionalisme atas serangan modernisme. Dalam pada itu, berkat komunikasi intelektual dengan berbagai pihak ditambah improvisasinya sendiri Gus Dur mampu menampilkan doktrin Aswaja menjadi konsep akademis yang membawa semangat kemanusiaan universal.
Doktrin Aswaja menurutnya merupakan serangkaian pandangan tentang berbagai sendi kehidupan masyarakat baik berupa pandangan ideologis maupun orientasi kehidupan, di samping seperangkat nilai-nilai yang melandasi kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya bidang Aswaja mencakup beberapa segi, yaitu:
1.        Pandangan tentang manusia dan tempatnya dalam kehidupan.
2.        Pandangan tentang ilmu, pengetahuan, dan teknologi.
3.        Pandangan tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat.
4.        Pandangan tentang hubungan individu dan masyarakat.
5.        Pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui. pranata hukum, pendidikan, politik, dan budaya.
6.        Pandangan tentang cara- cara pengembangan masyarakat, dan
7.        Asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin yang formal diterima saat ini.[10]
Masing-masing poin di atas dielaborasi oleh Gus Dur sedemikian rupa sehingga jelas konseptualisasinya. Dengan demikian, sampai di sisni terlihat ciri universalisme pemikiran keagamaan Gus Dur, suatu model yang hendak mentransformasikan nilai-nilai keagamaan dalam praktek kehidupan yang luas. Tetapi lebih jauh dari itu, ia sesungguhnya juga seorang liberal, dalam arti memiliki kecenderungan pemikiran bebas, tidak mau terkungkung oleh batasan apa pun an siapa pun. Dengan pola pemikiran yang cenderung liberal ini, Gus Dur semasa hidupnya menggagas ide pembaruan hukum Islam di Indonesia bersama dengan pemikir muslim lainnya seperti Nurcholish Madjid.
Kebebasan berfikir (liberalisme) Gus Dur inilah yang kemudian memberikan menginspirasi para intelektual Islam Indonesia untuk “bebas” pula memilih istilah yang tepat bagi tipologi pemikiran Gus Dur menurut versi masing-masing. Greg Barton memasukkannya ke dalam kelompok neo-modernisme yang pernah digagas oleh Fazlur Rahman. Dalam tipologi ini, Gus Dur disandingkan dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Wahib dan Djohan Effendy. Sebelumnya, Wiiliam Liddle memasukkan Gus Dur sebagai pemikir Indigenist.[11] Sementara itu, M. Syafi’i Anwar memasukkan Gus Dur sebagai pemikir substanvistik.[12] Bahkan yang terakhir, Mujamil Qomar, memasukkan Gus Dur sebagai pemikir divergen, yaitu berpikir yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional.[13]
3.      Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam
a.      Pengertian dan Konsep Pendidikan Islam
 Pendidikan Islam merupakan sistem yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Tujuan dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.[14]
Konsep dan gagasan K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas terlihat pada gagasannya tentnag pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek pendidikan pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang manfaat positif untuk perkembangan.[15]
Gus Dur pada sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, Terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik dan ideologi negara, sekalipun.
Singkatnya, konsep pendidikan Gus Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern. Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam merupakan sebuah perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan tidak melupakam esensi ajaran Islam.
b.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga akan tampak karakteristik dari pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat pencitaan manusia, yaitu untuk menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.[16]
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
c.        Kurikulum Pembelajaran
Sistem pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif tidak harus bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan potensi peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem yang dihadapi. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman Wahid, diantaranya:
1)     Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan);
2)     Dalam proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik;
3)     Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti transfer of value and skill dan pembentukan karakter (character building).
Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.[17]
d.      Metode pembelajaran
Salah satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.[18]
Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di pesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik.
e.      Konsep pendidik
Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Guru juga harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.
f.        Konsep peserta didik
Peserta didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna menghadapi suatu problem yang dihadapi. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena penekanan Gus Dur pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan psikomotorik.
g.      Evaluasi Pembelajaran
Gus dur menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan yang berorientasi proses (process oriented) yaitu, proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau title dikalangan praktisi pendidikan dan pendidik.
4.      Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu, yang menjadi kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.
Jika dilacak dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.
5.      Relevansi Pemikiran Gus Dur dengan Pendidikan Saat Ini
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat relevan dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan pendidikan Islam ialah untuk memanusiakan manusia. Tujuan tersebut sampai saat ini masih dipertahankan dalam dunia pendidikan  di Indonesia. Artinya, dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia bebas dan terarah dalam mengembangkan fitrah yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya. Bukan malah menjadi robot-robot yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam perspektif Islam saja, namun juga berlaku untuk semua agama.
Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang satu ini nampaknya  sudah diterapkan dalam sistem pembelajaran di Indonesia saat ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik maupun peserta didik harus sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Dari segi kurikulum pun sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia ini. Menurut beliau, pendidikan seyogyanya tidak hanya mencakup transfer of knowladge saja, tetapi juga harus mencakup transfer of value serta pembentukan karakter. Pendidikan di Indonesia jelas sepakat dengan pemikiran tersebut. Ini dibuktikan dengan munculnya kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan berkarakter.
Pembaruan pendidikan harus terus dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun tidak meninggakan nilai-nilai agama Islam. Meski pemikiran dan konsep pendidikan dari Gus Dur ini lebih ditekankan kepada Islam, namun jika dikaji lebih dalam, semua pemikiran serta konsep beliau mengenai pendidikan tersebut masihlah umum. Semua yang beliau sajikan ini dapat pula diterapkan dalam pendidikan-pendidikan di luar konteks Islam.
6.      Karya-Karya Intelektual KH. Abdurrahman Wahid
Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen), atau mungkin -meminjam istilah Antonio Gramsci- "intelektual organik" dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan pengikatan diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting substansi yang disampaikannya.
Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan ini juga mungkin suatu bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu dapat terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya membaca realitas dan kekritisannya mengambil keputusan dapat dilihat dari kecenderungan tulisan-tulisan tersebut.
Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan tersebut dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fiqih praktis di pesantren hingga wacana global "rekayasa masa depan" disinggung oleh Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus Dur. Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus Dur, secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema pokok.
Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:
1)     Pandangan dunia pesantren.
2)     Pribumisasi Islam.
3)     Keharusan demokrasi.
4)     Finalitas, negara-bangsa pancasila.
5)     Pluralisme agama.
6)     Humanitarinisme universal, dan
7)     Antropologi kiai.
Ketujuh tema pokok ini secara umum menjelaskan keluasan wawasan dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema kontemporer yang menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, Lingkungan hidup, dan gender. Tema- tema pokok inilah barangkali yang melandsi seluruh gerakan Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan maupun ekonomi. Seluruh tema tersebut, dalam banyak tulisan dibidik Gus Dur dari pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekeyaan intelektual dan kebudayaan pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenal agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan Gus Dur. Sementara pengembaraannya di timur tengah dan di barat telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu mondial yang membuatnya harus berfikir kosmopolit dan progresif.
Dalam artikel berjudul “Peranan Umat Islam dalam Berbagai Pendekatan”,[19] Gus Dur juga berargumen bahwa konvergensi nilai-nilai hukum Islam terdiri dari dua model pendekatan, yaitu nilai inspiratif dan normatif. Model inspiratif bahwa nilai- nilai Islam menjadi titik tolak bagi pengembangan moral aturan. Sedangkan model yang kedua, normatif yaitu dapat dilakukan dengan cara melihat Islam dalam bentuk norma. Sehingga menurutnya kedua pendekatan ini sangat penting untuk dikembangkan, dan keduanya harus ada dan saling mendukung.[20] Menurut penulis, hal inilah yang mungkin digunakan Gus Dur sebagai landasan pendekatan antropologi-budaya pada ide ‘pribumisasi Islam’ miliknya.
Ide pribumisasi Islam yang fenomenal Gus Dur berpandangan bahwa dalam memahami wahyu haruslah dipertimbangkan aspek kontekstual ataupun adat istiadat setempat, sepanjang hal tersebut tidak mengubah makna dan substansi agama dengan berdasarkan pada “al-‘ādatu muhakkamah”.[21]
Pandangan Gus Dur tersebut merupakan buah pemikirannya tentang universalisme Islam sebagaimana yang terdapat dalam artikel berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, menurutnya universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manivestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai bidang seperti hukum agama (fiqh), ketauhidan (tauhīd), etika (akhlāq) yang dalam masyarakat seringkali disempitkan hingga menjadi kesusilaan belaka dan sikap hidup, menampakkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan.[22]
Sementara itu, dalam artikel berjudul “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, Gus Dur berargumen bahwa hukum Islam memiliki kedudukan kunci dalam kehidupan bergama. Sebagai kumpulan peraturan dan tata cara yang harus diikuti oleh seseorang yang petuh memeluk agamanya. Menurutnya hukum Islam memiliki pengertian yang lebih dari sekedar luas lingkup yang dikenal orang pada umumnya. Di samping itu juga mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang yuridis juga meluputi soal-soal liturgi dan ritual keagamaan.
Dalam artikel berjudul “Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia”, Gus Dur berpandangan bahwa dengan mengutip kembali fatwa muktamar NU 1935 di Banjar Masin yang menyentuh dua hal yang sangat esensial yaitu bahwa Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama dan membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses negara.[23]
Terdapat juga tulisan-tulisan kumpulan esai yang ditulis Gus Dur pada periode 1980-an yang diterbitkan oleh Tempo. Sebuah periode yang dapat disebut sebagai “periode ilmiah”-nya Gus Dur. Diantara judul esai-esai tersebut antara lain seperti: Pesantren Dan Ludruk, Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah, Kiyai Khasbulloh Dan Musuhnya, Sulit Masuknya Mudah Keluarnya, Kiyai Ikhlas Dan Ko- Edukasi, Reorientasi Kiyai Adlan, Kiyai Razaq Yang Terbakar, Ketat Tapi Longgar, Kiyai Iskandar Dan Pak Damin, Bersatu Dalam Menuntut Ilmu, Baik Belum Tentu Bermanfaat, Tokoh Kiyai Syukri, Sang Kiyai Dan Keyakinannya, Dunia Nyatakiyai Zainal, Ustadz Yang Hidup Dalam Dua Dunia, Bila Kiyai Berdebat, Kiyai Dolar Berdakwah, Syeikh Mas’ud memburu Kitab, Kiyai Mencari Mutiara, Yang Umum Dan Yang Khusus, Akar Prioritas Ibadah, Dokter Idealis Kiyai Formalis dan Muallim Syafi’i: In Memoriam. Berbagai judul esai ini dapat pula ditemukan dalam buku “Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah.”
Dalam buku yang cukup fenomenal berjudul “Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita”, Gus Dur menunjukkan bagaimana potret pemikirannya tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme, demokrasi pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), kapitalisme, sosialisme dan globalisasi. Pembahasannya tentang Islam selalu mampu menerobos wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama pada umumnya. Dalam konteks ini, Gus Dur ternyata mampu menghadirkan Islam mulai dari masa awal kehadirannya hingga saat ini, dari nuansa tekstual hingga kontekstual, dari aspek struktural hingga kultural.
Dalam buku  ini, Gus Dur memberikan tiga kerangka keberIslaman yang patut kita apresiasi bersama secara serius dan mendalam, terutama dalam menciptakan Islam yang damai. Pertama, Islamku, yaitu keberIslaman yang berlandaskan pada pengalaman pribadi perseorangan. Kedua, Islam Anda, yaitu keberIslaman yang berlandaskan pada keyakinan. Dalam hal ini harus diakui bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri terhadap beberapa hal tertentu. Pandangan kalangan Nahdlatul Ulama dapat jadi berbeda dengan pandangan kalangan Muhammadiyah. Demikian pula sebaliknya. Ketiga, Islam Kita, yaitu keberIslaman yang bercita-cita untuk mengusung kepentingan bersama kaum Muslimin. Dalam buku setebal 412 halaman ini, Gus Dur menekankan pentingnya menerjemahkan konsep kebajikan umum sebagai jembatan untuk mengatasi problem Islamku dan Islam Anda.[24]
Pada umumnya, diskursus keberIslaman hanya terhenti pada kedua model tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur menawarkan solusi akan pentingnya merajut antara keberIslaman yang berbasis pada pengalaman dan keyakinan untuk membangun pemahaman keagamaan yang berorientasi pada perdamaian dan keadilan sosial.
Seperti pernyataan Dr. M. Syafi’i Anwar, dalam kata pengantarnya, dalam buku ini, benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada kemampuannya untuk berkembang secara kultural. Oleh karena itu, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi dibanding upaya ideologisasi. Pemahaman seperti inilah yang menggugah Gus Dur untuk melantangkan pentingnya pribumisasi Islam, terutama dalam konteks keIndonesiaan.
Sementara Moeslim Abdurrahman, sahabat dekat Gus Dur, mengibaratkan Gus Dur sebagai tokoh yang hendak membebaskan umat dari beban sejarah politik masa lalunya, seraya menyeru agar umat Islam Indonesia mampu menjawab beberapa persoalan mendesak, seperti kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara, demokratisasi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, Gus Dur, menurutnya, termasuk salah satu tokoh penting yang melengkapi khazanah intelektual Islam Indonesia lewat literatur klasik. Dalam konteks inilah, ia -bersama Nurcholish Madjid- lantas disebut sebagai kelompok neo-modernis.
Kompleksitas wacana yang menjadi perhatian Gus Dur menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang generalis, bukan spesialis keilmuan tertentu. Hampir setiap isu kontemporer direspon Gus Dur. Ini mungkin berkaitan dengan posisinya sebagai pemimpin publik dan aktivis gerakan sosial, terutama di organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai pemimpin berjuta-juta umat pada level nasional dan internasional (selaku Presiden WCRP) memaksa Gus Dur untuk terlibat dalam segala urusan publik, mulai dari wacana internal keagamaan dan ke-NU-an hingga wacana global yang menjadi trend Dunia Ketiga.
Meski secara kuantitatif garis statistiknya kian meningkat, namun belum tentu untuk kualitas tulisan-tulisan tersebut. Untuk mengetahui secara pasti kualitas masing-masing tulisan tersebut kiranya butuh penelitian khusus. Tetapi dengan asumsi bahwa standar tulisan di jurnal ilmiah, seperti Prisma, lebih serius dan lebih bermutu dari pada tulisan artikel atau kolom di Majalah atau Surat Kabar Harian, maka periode pertengahan akhir 1970-an hingga pertengahan pertama 1980-an merupakan puncak keemasan intelektual Gus Dur. Kurun waktu inilah kiranya dapat disebut "periode ilmiah" Gus Dur. Sepanjang tahun tersebut, Gus Dur mencurahkan energi intelektualnya ke berbagai media massa terkemuka, seperti di Prisma, Tempo, dan Kompas.
Sementara pada periode pertengahan akhir 1980-an hingga pertengahan awal 1990-an, tulisan Gus Dur memang tersebar ke berbagai media massa dengan jangkauan lebih luas lagi. Bukan hanya Prisma, Tempo, Kompas, Pesantren, melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita, Editor, Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos, Forum Keadilan, dan sejenisnya. Akan tetapi, tulisan-tulisan pe­riode ini relatif lebih pendek dan singkat ketimbang pada periode sebelumnya. Sebagian tulisannya diterbitkan dalam bentuk antologi. Sedangkan dalam bentuk bunga rampai hanya satu, yakni “Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi”.[25]
Seiring dengan kesibukannya pada akhir tahun 1990-an, tulisan-tulisan ilmiah bermutu Gus Dur di atas pada akhirnya berganti dengan komentar-komentar dan statemen-statemen yang hampir tiap hari menghiasi wacana Koran atau Majalah. Apalagi setelah nuansa gerakan politiknya kian pekat di penghujung 1990-an, di mana Gus Dur menjadi deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan sekarang menjadi Presiden RI Keempat, maka tulisan-tulisan itu tampaknya akan berubah menjadi pidato-pidato dan statemen-statemen politik saja. Demikian gambaran singkat spektrum intelektualitas Gus Dur dan hubungannya dengan gerakan praksis sosialnya.
Dengan pemaparan data-data karya tulis intelektual ini, tampak jelas bahwa Gus Dur ternyata bukan hanya seorang aktifis gerakan sosial dan gerakan politik semata, melainkan juga seorang intelektual dan pemikir cerdas yang terkemuka, sejajar dengan pemikir-pemikir besar lainnya, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Meski ia tak pernah belajar di dunia akademik yang terdepan dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi dalam daftar karya intelektual Gus Dur itu jelas terlihat kedalamannya meramu ilmu-ilmu sosial dengan pengetahuan keagamaan yang kritis.

B.     NURCHOLIS MADJID (CAK NUR)
1.        Biografi Cak Nur
Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur, 17 maret 1939 (26 muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Cak Nur, bagitu panggilan angkrabnya ketika kecil bercita-cita menjadi masinis kereta api. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore) ; Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang ; KMI (Kuliyatul Mutaalimin al-Islamiyah) Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sarjana Sastra Arab 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).[26]
Beliau aktif  dalam gerakan kemahasiswaan, antara lain: Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat; Ketua Umum PB HMI (1966-1969 dan 1969-1971); Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1976; Wakil sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Studens Organizations), 1969-1971 dan sejak tahun 1991 Nurcholis Madjid menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Kegiatan dalam bidang pendidikan, antara lain: mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-2005; peneliti pada LIPI, 1978-2005; guru besar tamu di Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri 1990. Beliau banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan di berbagai majalah, surat kabar dan buku sutingan. Sejak tahun 1986, bersama kawan-kawan di ibukota mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia.[27]
Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur, hidup ditengah keluarga NU yang kental. Ayahnya adalah tokoh terkemuka (kiyai) sekaligus seorang pemimpin partai Islam (Masyumi) kala itu. Riwayat pendidikannya yang beraruskan paham keagamaan yang kental menjadikannya seorang yang kritis dan mapan dalam pemikiran ke-Islaman.
Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan untuk mengidentifikasi kelas menengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya cenderung mengusung simbol-simbol Masyumi-HMI, dan cenderung mengurung simbol-simbol Islam formal.
Cak Nur adalah seorang yang sering dijuluki “Guru Bangsa” karena banyak memikirkan bagaimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas mengenai Islam, tetapi juga meliputi pemikiran keindonesiaan modern. Iapun menjadi pelopor banyak isu pembaharuan politik, seperti ide pentingnya osisi loyal, civil society, demokrasi, pancasila sebagai common platform bangsa ditengah nilai-nilai keagamaan, pluralisme, dan hak asasi manusia. kontribusi pemikiran Cak Nur bukan hanya berkaitan dengan umat Islam, tetapi juga bangsa Indonesia.
Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.[28]
2.        Pendekatan Teori Nurcholis Madjid
Berbicara mengenai Cak Nur tidak akan terlepas dari anggapan tentang konotasi Islam liberal ataupun plural. Menurut Khalik, pluralisme Cak Nur bertumpu pada pada gagasan Islam sebagai agama universal dan tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri.[29]
Cak Nur mengusung pemikiran pluralisme positif. Pluralisme positif menupakan semangat yang menjadi salah satu hakikat islam. Pluralisme oleh islam yang tidak pernah hilang itu sekarang harus dengan penuh kesadaran diterapkan dalam pola-pola yang sesuai dengan tuntutan zaman moderen, demi memenuhi tugas sucinislam sebagai agama tauhid (ketuhanan YME) untuk ikut serta menyelamatkan umat manusia dan kemanusiaan di zaman mutakhir ini.[30]
Pendekatan lain yang dibawa Cak Nur adalah pendekatan neomodernis. Dalam bingkai neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur meletakkan pondasi pemikiran Islam. Gagasannya jauh kedepan  karena ia amat menyadari bahwa untuk mengubah karakter umat Islam, dan bangsa Indonesia secara lebih umum diperlukan waktu sekitar 25 tahun.
Disini Cak Nur melihat potensi pesantren di Indonesia. Dilihat dari historisnya, pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional dan tertua telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pada era 70-an Cak Nur telah memprekdidikan pesantren sebagai sesuatu yang dapat dijadikan alternatif terhadap sistem yang ada.[31]
3.        Pemikiran Pendidikan Islam Cak Nur
a.      Kondisi objektif pesantren
Pesantren di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pesantren terdiri dari 5 pokok elemen, yaitu: kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik. Keberadaan kyai dalam pesantren  laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter karena kyailah perintis, pendiri, pengasuh, pemimpin bahkan pemilik tunggal sebuah pesantren.[32] Segala urusan yang berkaitan langsung dengan pesantren menjadi  dan bahkan bisa dicampuri oleh kyai langsung. Sehingga banyak pesantren yang tutup pasca wafatnya sang kyai.
Dalam proses pembelajaran para santri mempelajari kitab-kitab klasik dimana kitab-kitab tersebut dapatmengidentifikasikan kazanah keilmuan yang yang bernuansa kultural, akhlak, ilmu, karomah, integritas keimanan, kefaqihan, dan sebagainya. Masjid juga menjadi hal utama dalam sistem pembelajaran pesantren. Disini, masjid bukan hanya fijadikan sebagai sarana kegiatan saja, namun juga sebagai pusat belajar mengajar.
Dari sikap terhadap tradisi pesantren kepada jenis salafi dan khalafi. Jenis salafi merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Berbeda dengan pesantren khalafi yang tampaknya menerima hal-hal baru yang dinilai baik disamping tetap mempertahankan tradisi lama yang baik.[33]
Pada kondisi objektif tersebut, guna menjadikan pesantren lebih ideal, Nurcholis menawarkan perlu adanya rekonstruksi tujuan pesantren,  adanya pembaharuan pesantren serta membaharui manajemen pesantren.[34]
b.      Tujuan pendidikan pesantren
Faktor pertama kurangnya kemampuan pesantren dalam merespon dan mengikuti perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren.
Pada dasarnya tujuan dari pendidikan pesantren adalah mencipta dan mengembangkan kepribadian muslim yang bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara,[35] serta membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ilmu pengetahuan Islam sesungguhnya meliputi lingkup yang amat luas,yaitu tentang Tuhan, manusia dan alam termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi matematis sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah moderen (barat) di bidang-bidang itu berasal dari para ilmuan muslim. Tujuan akhirnya adalah beriman, berilmu dan beramal.[36]
c.       Kurikulum dan metode pendidikan pesantren
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa dalam aspek kurikulum, pelajaran agama masih dominan dilingkungan pesantren. Pada umumnya pembagian keahlian lulusan atau produk pendidikan pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut: Nahwu-sharaf, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab dan Tasawuf
Nurcholis Madjid menekankan agar dalam penerapan kurikulum dipesantren adanya check and balance. Perimbangan ini dimaksudkan agar pengetahuan keislaman dan pengetahuan umum agar dapat berjalan sejalan satu dengan yang lainnya.
d.      Sistem nilai pesantren
Ada tiga aspek yang mengakar dalam kultur pesantren yang digunakan sebagai sistem nilai yang dikenal sebagai Ahl-al-sunnah wa al-jamaah , yaitu:[37]
-          Teologi Al-Asy’ari
-          Fiqh madzhab
-          Tasawuf praktis
4.        Ide Pokok Pemikiran Nurcholis Madjid
Pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid harus dapat memberikan arah pengembangan dua dimensi bagi peserta didik, yakni dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Jika diklasifikasikan, maka konsep pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis Madjid merupakan sebentuk corak pendidikan progresif plus spiritualitas. Hal ini dibuktikan dengan memperhatikan dua orientasi pendidikan di atas dan prinsip-prinsip pemikiran Nurcholis Madjid yang kerap menekankan sikap terbuka, fleksibel, kritis dalam berpikir; gagasan tentang demokrasi; desakralisasi atau sekularisasi; atau cita-cita masyarakat madani yang toleran dan plural. Kesemua modalitas ini kemudian diwujudkan sebagai agenda pembaharuan pendidikan Islam melalui seperangkat metodologi yang beberapa di antaranya telah penulis identifikasi sebagai metode berpikir rasional, metode pemecahan masalah, eksperimen, kontemplasi, diskusi, dan penguasaan bahasa asing.[38]
Kegiatan menanamkan nilai-nilai, sesungguhnya akan membentuk pendidikan keagamaan. Nilai-nilai  itu antara lain: Islam, iman, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Kemudian nilai-nilai akhlak yang akan mendorong kepada kemanusiaan antara lain: silaturrahmi, persaudaraan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, dan sebagainya.[39]
Fokus utama yang menjadi pemikiran Nurcholish Madjid, terkait dengan pembaharuan pemikiran Islam, ialah bagaimana memperlakukan ajaran Islam yang merupakan ajaran universal dan dalam hal ini dikaitkan sepenuhnya dengan konteks (lokalitas) Indonesia. Bagi Nurcholish Madjid, Islam hakikatnya sejalan dengan semangat kemanusiaan universal. Hanya saja, sekalipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaan tersebut harus disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia, maka harus juga dipahami kondisi riil masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan termasuk lingkungan politik dalam kerangka konsep “Negara bangsa”.[40]
5.        Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid
Dari berbagai pemaparan tentang tawaran konsep pendidikan Nurcholis Madjid yang hampir sebagian besar mengerucut pada pembaharuan pesantren, saya rasa sangan relevan jika diterapkan pada saat ini. Hal ini karena, masih banyak pesantren di Indonesia yang masih termajinalkan. Kaum santri yang masih dikonotasikan udik dan tidak intelek. Dengan pembaharuan pendidikan pesantren yang bisa mengintegralkan antara pendidikan umum dan agama bisa diharapkan akan terwujudnya para santri intelek.
6.        Aktivitas Intelektual dan Karya-karya Nurcholih Madjid
Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk menguasai materi pelajaran di kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.
Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen ke-KMIannya[41] yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya.
Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih sebagai ketua umum PB HMI untuk dua tahun berturut-turut yakni periode 1966 sampai 1969 dan periode 1969 sampai 1971. Berkat kepiawaiannya sebagai mantan ketua umum PBHMI, selama menjadi mahasiswa di Amerika ia pun dipercaya untuk menjadi presiden persatuan mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada tahun 1967-1969 dan berikutnya ia dipercaya pula untuk menjabat sebagai wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization/ Federasi Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) pada tahun 1967-1971.[42]
Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid menduduki beberapa posisi sentral. Di antara beberapa karir sentral yang dicapainya adalah; menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta tahun 1972-1974, menjadi pemimpin umum majalah mimbar Jakarta tahun 1971-1974, dan juga menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan), pada tahun 1972-1976 dan LKIS (Lembaga Kebijakan Islam Samanhudi) tahun 1974-1977. Nurcholish Madjid bekerja di LEKNAS LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial) di Jakarta tahun 1978-1984, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1986 Nurcholish Madjid mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian keislaman dan menjadi penulis tetap harian pelita, Jakarta pada tahun 1988. Nurcholish Madjid menjadi anggota MPR RI, pada bulan Agustus 1991 dan menjadi dosen tamu di Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal, Canada. Sejak tahun 1988 Nurcholish Madjid dikukuhkan sebagai guru besar luar biasa dalam ilmu filsafat Islam sekaligus menjadi Rektor Paramadina Mulya, Jakarta.[43] Tahun 1991 Nurcholish Madjid juga menjabat sebagai ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Menjadi anggota Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan pada tahun 1993 tercatat sebagai salah seorang anggota MPR RI.[44]
Pada tanggal 3 Januari 1970, dalam acara malam silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana muslim yang tergabung dalam HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) Nurcholish Madjid menggantikan pidatonya Dr. Alfian yang berhalangan datang. Pidato yang disampaikannya dalam acara besar tersebut berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.[45]
Dari pidato yang disampaikannya ini Nurcholish Madjid mulai menuai pandangan yang sangat kontroversial termasuk dari para seniornya, semisal. Rasjidi, dikarenakan anjurannya terhadap sekularisasi. Isi pembahasan dari judul pidato, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yakni mencakup; Islam Yes, Partai Islam No; kuantitas versus kualitas, liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam sekarang (sekularisasi, kebebasan berfikir, idea of progress, dan sikap terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan “liberal”. Liberalisasi pemikiran Nurcholish Madjid dimulai dari penyampaian pidatonya pada acara HUT ke-3 HMI di Jakarta, 5 Pebruari 1970, dengan judul “pembaharuan pemikiran dalam Islam”. Kegigihannya untuk mengembangkan pola-pola penyegaran paham keagamaan Islam dilakukannya pada saat memberikan kuliah di pusat kesenian Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”.[46]
Nurcholish Madjid adalah seorang dari sedikit intelektual muslim Indonesia dan menjadi orang nomor satu di Paramadina. Ia dilahirkan dari kalangan Islam tradisionalis yang kuat. Nurcholish Madjid sejak memperoleh pendidikan di Pesantren Gontor, yaitu pesantren yang menerapkan semboyan “berfikir babas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas”, sangat mempengaruhi pemikirannya untuk tidak memihak pada salah satu madzhab Islam.
Pada saat Nurcholish Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), satu periode di mana Republik Indonesia sedang bergejolak dan merupakan masa transisi dari rezim lama ke rezim baru yang membawa paradigma baru, termasuk paradigma dalam membangun Indonesia ke depan saat itu yang kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit banyak menjadi variabel signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran keislaman Nurcholish Madjid yang relatif “asing” bagi umat Islam saat itu.[47]
Nurcholish Madjid sejak menjadi mahasiswa telah aktif menulis tentang kajian keislaman maupun politik, sehingga dia sempat mendapatkan gelar “Natsir Muda”. Gelar tersebut didapat Nurcholish Madjid dengan ciri khas orang yang anti dan sangat membenci Barat, akan tetapi sikap itu pada akhirnya runtuh ketika Nurcholish Madjid usai melakukan kunjungannya di Amerika Serikat dan beberapa Negara Timur Tengah[48] yang akhirnya gelar tersebut dicopot.
Pada saat Nurcholish Madjid melaksanakan pendidikan di Chicago, Amerika Serikat, beliau menjadi murid seorang ilmuan muslim ternama neomodernisme dari Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Diperguruan inilah Fazlur Rahman mengotak-atik pemikiran Nurcholish Madjid untuk dibawa ke bidang kajian keislaman. Pengaruh Fazlur Rahman terhadap gerakan intelektual Nurcholish Madjid bukan untuk mengubah pola pemikiran Nurcholish Madjid. Hanya saja, bukan mengatakan sama sekali, Fazlur Rahman telah begitu berpengaruh dalam mengantarkan pemikiran Nurcholish Madjid untuk kembali kepada warisan klasik kesarjanaan Islam.
7.        Karya-karya Intelektual Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif. Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986 mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina.[49] Di lembaga inilah sebagian besar Nurcholish Madjid mencurahkan hidup dan energi intelektualnya (sehingga pada akhirnya melahirkan Universitas Paramadina Mulya, dengan obsesi mampu menjadi pusat kajian Islam kesohor di dunia) di samping sebagai peneliti LIPI sebagai profesi awalnya dan sekaligus sebagai Profesor Pemikiran Islam di IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dalam perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan banyak artikel ataupun makalah yang telah dibukukan. Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:
1)     Khazanah Intelektual Islam. Karya ini menurut penulisnya dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu aspek kekayaan Islam dalam bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Dalam buku ini dibahas pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, Jamal al-Din alAfghani dan Muhammad Abduh.
2)     Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Dalam buku ini, yang merupakan kumpulan tulisan selama dua dasawarsa melontarkan gagasan Nurcholish Madjid tentang korelasi kemodernan, keislaman dan keindonesiaan, sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu-isu yang berkembang di saat itu.
3)     Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan.[50] Buku ini merupakan karya monumentalnya pasca studi di Chicago. Dalam buku ini, Cak Nur berusaha mengungkapkan ajaran Islam yang menekankan sikap adil, inklusif dan kosmopolit.
4)     Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish Madjid “Muda”.(1994)
5)     Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994). Buku ini merupakan kumpulan sebagian besar tulisan Cak Nur di harian Pelita dan Tempo. Menurut penulisnya, buku ini merupakan penjelasan lebih sederhana dan “ringan” (populer) dari gagasan Islam inklusif dan Universal yang menjadi tema besar buku Islam Doktrin dan Peradaban.
6)     Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995). Dalam buku ini pemikiran Cak Nur lebih terarah pada makna dan implikasi penghayatan Iman terhadap perilaku sosial yang senantiasa mendatangkan dampak positif bagi kemajuan peradaban kemanusiaan.
7)     Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995). Buku ini sama dengan karya monumentalnya, hanya saja, Cak Nur menyajikannya dengan wawasan yang lebih kosmopolit dan universal sekaligus mempertimbangkan aspek parsial dan kultural paham-paham keagamaan yang berkembang.
8)     Masyarakat Religius (1997). Buku ini mengetengahkan konsep Islam tentang kemasyarakatan, antara komitmen pribadi dan komitmen sosial serta konsep tentang eskatologi dan kekuatan adi-alami.
9)     Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam pembangunan di Indonesia (1997). Dalam buku ini Cak Nur mengetengahkan tentang peran dan fungsi Pancasila, organisasi politik, demokratisasi, demokrasi dan konsep oposisi loyal.
10) Kaki Langit Peradaban Islam (1997), mengetengahkan tentang wawasan peradaban Islam, kontribusi tokoh intelektual Islam semisal Al-Shafi’i dalam bidang hukum, al-Gazali dalam bidang tasawuf, ibn Rusyd dalam filsafat dan Ibn Khaldun dalam filsafat sejarah dan sosiologi.
11) Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan (1997), yang membahas tentang dinamika pesantren serta kontribusinya dalam peradaban Islam di Indonesia.
12) Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1997). Buku yang merupakan transkrip wawancara yang pernah dilakukan oleh Cak Nur memiliki mainstream bagaimana nilainilai universal dan kosmopolit Islam diaktualisasikan dalam praktik politik kontemporer.
13) Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid “Tekad” (1999). Dalam buku ini Cak Nur berusaha menjelaskan pemikiran-pemikirannya tentang keterkaitan antara dimensi keislaman dengan dimensi keindonesiaan dan kemodernan sekaligus. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Cak Nur di Tabloid Tekad yang merupakan suplemen dalam harian Republika, sebuah koran harian yang diterbitkan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
14) Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi (1999). Buku ini merupakan perjalanan panjang politik NurcholishMadjid dalam wacana perpolitikan di Indonesia. Dalam buku ini prototype negara Madinah yang telah didirikan Nabi Muhammad sedemikian ditekankan oleh Cak Nur sebagai sesuatu yang sangat cocok untuk diterapkan kini, mengingat nilainilainya sedemikian modern bahkan terlalu modern untuk masanya sehingga tidak bertahan lama.
15) Indonesia Kita (2003). Dalam buku yang merupakan karya tulis terakhirnya, Nurcholish Madjid berusaha memahami secara lebih luas dan mendalam tentang hakikat dan persoalan bangsa dan negara Republik Indonesia sejak dari masa lampau sampai sekarang yang menantang. Dalam buku ini dimuatpokok pemikiran Cak Nur ketika mencalonkan diri sebagai Presiden RI yang meskipun kandas melalui konvensi Partai Golkar yang terkenal dengan Sepuluh Platform Membangun Kembali Indonesia.
Di samping itu, terdapat beberapa ceramahnya yang juga dibukukan, seperti Perjalanan Religius Umrah dan Haji; Pesan-Pesan Takwa Nurcholis Madjid: Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina; 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan Ramadhan.
Pada sisi lain, ia juga banyak menulis artikel yang tersebar di beberapa buku suntingan orang lain, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, yang tersebar di beberapa jurnal nasional maupun jurnal internasional.
a.       Karya-karya dalam Bahasa Inggris
1)     The Issue of Modernization Among Muslimin in Indonesia: From a participant’s Paint of View, dalam Gloria Davies (ed.)
2)     What is Modern Indonesia Culture? (Athens, Ohio, University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979)
3)     Islam in the Contemporary World, (Notre Dame, Indiana, Cross Roads Books, 1980)
b.      Karir dan aktivitas intelektual Nurcholish Madjid di tingkat internasional.
1)     Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, November 1992, Bellagio, Italia.
2)     Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Wina, Austria.
3)     Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
4)     Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
5)     Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko
6)     Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellagio, Italia
7)     Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
8)     Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
9)     Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Belanda.
10) Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
11) Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
12) Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
13) Pembicara, konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington, DC, Amerika Serikat
14) Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina, Austria
15) Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, November 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat
16) Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas Georgetown, Washington, DC, Amerika Serikat
17) Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, November 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, Amerika Serikat
18) Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), November 1997, San Francisco, California, Amerika Serikat
19) Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (American Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat
20) Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Jenewa, Swiss
21) Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hakhak asasi Manusia”, November 1998 State Department (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, Amerika Serikat
22) Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
23) Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang
24) Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), November 1999, Amman, Yordania.[51]

PENUTUP
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H Abdurrahman Wahid, diantaranya, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran dipesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik. Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern.
Pemikiran Cak Nur memang tidak akan pernah bisa terlepas dari ke-Islaman. Begitu pula dengan pemkirannya terkait dengan pendidikan. Cak Nur lebih banyak menyorot pesantren yang memang masih dirasa perlu memberikan perhatian khusus.
Tawaran yang Cak Nur berikan adalah penertiban manajemen pesantren, merumuskan kembali tujuan pesantren, kurikulum pesantren, sistem nilai pesantren serta penanaman value (nilai) kepada peserta didik. Beriman, berilmu dan beramal.
Dari berbagai pemaparan tentang tawaran konsep pendidikan KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid yang hampir sebagian besar mengerucut pada pembaharuan pesantren. Dengan pembaharuan pendidikan pesantren yang bisa mengintegralkan antara pendidikan umum dan agama bisa diharapkan akan terwujudnya para santri intelek.
Pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu, yang menjadi kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia), 1999
Abdurrahman Wahid, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi, Jakarta: RMI dan Jawa Pos, 1989
Ahmad A. Sofyan dan Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003
Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurkholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rinek Cipta, 1999
Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais, Yogyakarta: Laelathinkers, 2003
Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987
Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013
Greg Barton, Gagasan Islam  Liberal di Indonesia, (terj.) Jakarta: Paramadina, 1999).
http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid, diakses tanggal 28 Juni 2015
Kamaruzzaman Bustamam- Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004
M. Husaini, “Pribumisasi Islam ala Gus Dur”. Dalam http//www.nu.or.id, diakses pada 26 Oktober 2010.
M. Mansur Amin dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993
M.Sugeng Sholahuddin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Pekalongan: Stain Press, 2005
Muhammad Rifa’i, Gus Dur, Yogyakarta: Garasi, 2009
Mujamil Qomar, NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002
Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005
Mukhtar Ganda Atmaja dan M.Shodiq (peny.),  Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990
Muntaha Azhari dan Mun’im Saleh (ed.), Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989
Nurchois Madjid, Bilik-bilik pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Nurcholish Madjid, Biografi dalam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, Jakarta: Djambatan, 2004
Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani Nurcholish Madjid, Yogyakarta: LP2IF dan Pstaka Pelajar Offset, 2001
Tjun Surjaman, Hukum Islam di Indonesia; Pemikiran dan Praktek, Cet. II, (Bandung: Remaja Posdakarya, 1994
Yasmadi, Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional Jakarta: Ciputat Press, 2002
Zainal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008


Fotenote

[1] M.Sugeng Sholahuddin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Pekalongan: Stain Press, 2005, hal. 15.
[2] Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais, Yogyakarta: Laelathinkers, 2003, hal. 65-67
[3] Muhammad Rifa’i, Gus Dur, Yogyakarta: Garasi, 2009, hal. 20-21
[4] Greg Barton, Gagasan Islam  Liberal di Indonesia, (terj.), (Jakarta: Paramadina, 1999). Khusus tentang pemikiran dan kiprah Gus Dur, lihat. hal.325-430 dan hal.488-501
[5] Greg Barton, The Authorized., hal. 138
[6] Zainal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008), hal. 17
[7] Greg Barton, Gagasan., hal. 325
[8] Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurkholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rinek Cipta, 1999), hal. 31
[9] Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme.,  hal. 32
[10] Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme., hal. 32- 33
[11] Gagasan ini lebih menekankan substansial kultural dalam proses Islamisasi di Indonesia. Lebih jelas, lihat, M. Syafi’i Anwar, Pemikiran., hal. 156
[12] Mujamil Qomar, NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002 ), hal. 254
[13] Kamaruzzaman Bustamam- Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal.85
[14] Ibid., hal. 42
[15] Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013, hal. 37
[16] Ibid., hal. 26-27
[17] Ibid, hal. 115
[18] Ibid., hal. 75
[19] Mukhtar Ganda Atmaja dan M.Shodiq (peny.),  Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), hal. 195
[20] Muntaha Azhari dan Mun’im Saleh (ed.), Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hal.198-199
[21] Ibid. hal. 83
[22] M. Mansur Amin dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), hal. 545
[23] Tjun Surjaman, Hukum Islam di Indonesia; Pemikiran dan Praktek, Cet. II, (Bandung: Remaja Posdakarya, 1994), hal. 2
[24] M. Husaini, “Pribumisasi Islam ala Gus Dur”. Dalam http//www.nu.or.id, diakses pada 26 Oktober 2010.
[25] Abdurrahman Wahid, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi, (Jakarta: RMI dan Jawa Pos, 1989)
[26] M. Sugeng Sholehudin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Pekalongan: STAIN Pekalongan press, 2005, hal. 89
[27] Ibid. hal.90
[29] Op.cit, hal 98
[30] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992 hal. 2
[31] Yasmadi, Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional Jakarta: Ciputat Press, 2002, hal.59-60
[32] Ibid, hal. 63
[33] Nurchois Madjid, Bilik-bilik pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 163
[34] Ibid, hal.18
[35] Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005, hal. 4
[36] Ibid hal. 5
[37] Ibid, hal. 92-105
[39] A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia), 1999, hal. 10-17
[40] Ahmad A. Sofyan dan Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur, hal. 83-84.
[41] Seperti sikap disiplin, kejujuran, keuletan, kreatif dan persiapan (Al- I’dal Wal Isti’dad), ketegasan dalam bertindak, lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal…,hal. 65
[42] Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal 26
[43] Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani Nurcholish Madjid (Yogyakarta: LP2IF dan Pstaka Pelajar Offset, 2001), hal. 63
[44] Nurcholish Madjid, Biografi dalam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 211
[45] Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987), hal. 18-19
[46] Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, hal. 66
[47] Ahmad A. Sofyan dan Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003), hal. 73
[48] Ibid., hal. 65
[49] Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
[50] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987).

Comments

Kajian Populer

Evaluasi Pendidikan; Input, Proses dan Output dalam Sistem Pendidikan

Pengertian, Ruang Lingkup dan Objek Kajian Filsafat Ilmu

Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Komponen-Komponen Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Konsep Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Dasar dan Sumber-Sumber Pendidikan Islam

Karakteristik Pendidikan Islam Seiring Perkembangan Waktu

Komponen dan Kriteria Memilih Sumber Belajar