Pemikiran Pendidikan Islam KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Majid
Ditulis Oleh: *Abdul Katar
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) IAIN STS Jambi
PENDAHULUAN
Di tengah-tengah situasi reformasi yang
menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah ekonomi,
politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya
pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H. Abdurrahman Wahid yang
lebih akrab dipanggil Gus Dur, termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan
kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari
tradisi Ahl-Sunnah wal Jama’ah, menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial.
Perannya sebagai presiden Republik
Indonesia yang keempat, menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk
memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Ia selalu membela
golongan-golongan yang tertindas. Gus Dur juga diberi gelar Bapak Pluralisme
Indonesia karena sikap toleransi yang tinggi tehadap perbedaan-perbedaan yang
ada, seperti masalah agama, ras dan sebagainya.
Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan
cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan
dengan cara memperbarui pendidikan dan pesantren. Atas dasar ini ia dapat
dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam. Dalam makalah ini akan
dipaparkan tentang konsep pendidikan Islam perspektif K.H. Abdurrahman
Wahid.
Nurcholis Madjid adalah tokoh pembaharu
yang tidak asing lagi untuk banyak orang. Pemikiran-pemikirannya tak luput dari
sorotan banyak ahli baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tidak jarang
banyak pemikirannya yang dijadikan sebagai rujukan dalam pembahasan terkait
keIslaman, keIndonesiaan, Politik bahkan Pendidikan.
Pemikirannya yang paling menggegerkan
khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum
majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”.
Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi
orang-orang Islam.
Bagaimana halnya dengan pemikiran KH.
Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid tentang pendidikan? Dalam makalah ini
akan dibahasan gagasan-gagasan beliau mengenai pendidikan yang meliputi:
riwayat hidup, pendekat teori, isi teori, ide pokok pemikiran serta analisis
relevansi teori KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid dengan pendidikan
saat ini.
PEMBAHASAN
A. KH. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
1.
Biografi Gus Dur
KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab
disapa Gus Dur, lahir di Denanyar Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus
1940. Nama kecilnya adalah Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil berarti “Sang
Penakluk”, sebuah nama yang diambil dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang
telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.[1]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam
bersaudara. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim
adalah putra dari K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU)
yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren
Tebuireng, Jombang. Ibundanya, Ny. Hj.
Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya,
Gus Dur merupakan campuran darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih
(kalangan kiai). Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek
dan ayahnya adalah salah satu dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh
pahlawan nasional. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat
orang anak, yaitu Alissa Qothrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita
Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.
Sejak kecil Gus Dur sudah mengenal beragam
pengetahuan dan beragam lingkungan. Di awal masakecilnya ia dikenalkan pada
dunia pesantren di Jombang. Kemudian, pada usia 4 tahun ia langsung melompat ke
wilayah paling metropolis dan glamor di Jakarta dan berkenalan dengan berbagai tokoh pergerakan. Di Jakarta, Gus Dur belajar banyak hal. Tidak
hanya dari ayahnya, tetapi dari pergaulan ayahnya dari kalangan pesantren, nasionalis
bahkan komunis. Inilah yang menjadikan
Gus Dur di kemudian hari sangat minat akan pengetahuan, dan mampu
menjembatani secara dialogis dan
berkesinambungan antara tradisi pesantren
dengan dunia modern.
Gus Dur memperkaya bahasanya dengan
mempelajari bahasa Perancis ketika ia belajar di kota Baghdad. Selain bahasa,
ia juga belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas Yahudi. Hal ini didukung
oleh perpustakaan di Universitas Baghdad yang menyediakan sumber informasi yang
sangat luas. Di kota ini pula, Gus Dur
belajar sufisme dan sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam para
wali kelas dunia.
Ketika pulang ke Indonesia, ia menerapkan
semua ilmu yang diperolehnya. Apa yang diperjuangkan Gus Dur tidak lain adalah
perjuangan kemanusiaan, pluralisme dan
mempertahankan nasionalisme.[2]
Gus Dur wafat pada hari Rabu tanggal 30 Desember
2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta, pada pukul 18.45 WIB. Akibat
penyakit komplikasi diantaranya penyakit jantung dan gangguan ginjal yang
dideritanya sejak lama.[3]
2.
Perkembangan
dan Tipologi Pemikiran
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk
oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Faktor-faktor ini
merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan ide- ide liberalnya.[4]
Dalam kegiatan- kegiatannya yang berkaitan dengan perjalanan, membaca dan
memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Menurut
Greg Barton, barangkali ia mengerjakan hal ini secara lebih lengkap dari pada
mayoritas inteletual Islam Indonesia lainnya.[5]
Secara kultural, Gus Dur melintasi tiga
model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia
pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba
formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat
yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan
membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk
pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus
Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit
dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang
dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya
sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, semua aktifitas tersebut mendapat
apresiasi oleh banyak pihak, termasuk yang tampak dari penghargaan Megsaysay
dari pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di
Indonesia (1993) dan Penghargaan Dakwah Islam Dari Pemerintah Mesir (1991).[6]
Cendikiawan liberal seperti Gus Dur dan
kebanyakan ulama NU terbuka untuk berlajar dari tradisi lain, termasuk
tradisi-tradisi yang terdapat di jantung spiritualitas Jawa dan Asia Tenggara
sebelum datangnya Islam. Greg dalam Syafi’i Ma’arif, menyebut Gus Dur sebagai
seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batas-batas
orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana
modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian
tradisi klasik Islam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional
yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar. [7] Hal ini sejalan dengan keyakinan
yang dianut secara luas oleh kaum tradisionalis bahwa segala sesuatu yang tidak
secara jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan sunnah Nabi maka hal itu diizinkan
selama terdapat konsistensi dengan prinsip-prinsip dan nilai –nilai yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sebaliknya kaum cendikiawan
konservatif dengan latar belakang modernis, jika sesuatu tidak ada
acuannya dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka hal itu harus diperlakukan secara
hati- hati; dan jika sesuatu mengandung unsur bertentangan dengan monoteisme
Islam maka hal itu juga harus dihindari.
Dalam prakteknya, keterbukaan Gus Dur
terhadap tradisi, dituangkannya dalam kehidupan sehari- hari. Pada saat itu Gus
Dur mencoba menggabungkan studi Islam dengan pendekatan yang sama sekali
berbeda terhadap ilmu dan pemahaman. Ia sangat tertarik pada sisi sufistik dan
mistik dari kebudayaan Islam tradisional. Dalam pandangan Gus Dur terdapat
perbedaan antara panteisme yang terdapat dalam mistisme kaum abangan dan priyai
yang sangat tidak Islami dengan monoteisme yang terdapat dalam sufisme Islam
tradisional. Hal inilah yang menurut Greg Barton, merupakan perbedaan yang
fundamental antara pendekatan yang digunakan kaum modernis dan tradisional
terhadap kebudayaan Indonesia.
Pola pemikiran Gus Dur, kiranya dapat ditelusuri
sejak tahun 1970-an. Pada periode awal ini ia banyak mencurahkan perhatiannya
tentang dunia pesantren yang memang digelutinya secara langsung. Ia telah
menulis sejumlah artikel, dan bagian- bagian terpentingnya dipublikasikan dalam
buku “Bunga Rampai Pesantren (1978)”,. Di samping ia memperkenalkan kepada
orang luar prihal kekuatan yang ada di pesantren, misalnya percaya diri dan
gaya hidup sederhana. Gus Dur mengingatkan kepada orang dalam bahwa pesantren
kini sedang dipersimpangan jalan, bahkan dalam ambang kemandegan. Hal itu
diantaranya disebabkan karena imbas modernitas di satu sisi dan di sisi lain
karena kurang terakomodasinya tuntutan- tuntutan masyarakat yang mengalami
perubahan secara cepat. Maka tidak ada jalan lain menurutnya kecuali harus
dilakukan “dinamisasi”, yaitu usaha untuk membangkitkan kualitas secara
progresif yang memungkinkan Islam tetap relevan dan dapat diterima. Yang dapat
dicatat di sini bahwa pada tahap awal ini Gus Dur telah menempatkan dirinya
sebagai “penyambung budaya”, yaitu membawa sub- kultur (pesantren) ke
perbincangan multi-kultur (modernitas), seolah ia berharap orang-orang
pesantren dapat mencari jalan keluar sendiri dalam menangani tantangan
modernitas.[8]
Ketika Gus Dur memulai eksplorasi
keilmuannya di luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat
dengan masalah bagaimana Islam dapat mengadakan perubahan. Menjelang masa
dewasanya, ia pernah terpukau oleh Islamisme yang radikal. Tujuh tahun
kemudian ia kembali ke Indonesia sebagai seorang yang penuh komitmen terhadap
pemahaman liberal mengenai Islam. Adapun pengaruh-pengaruh yang membentuk
liberalismenya tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan juga tidak mengejutkan
bahwa daya tarik Islamisme radikal tidak berumur panjang. Menurut John L.
Exposito dalam Greg Barton, pengaruh-pengaruh tersebut adalah: pertama, faktor
keluarga yang senantiasa mengajarkannya untuk selalu berfikir terbuka dan
mempertanyakan sesuatu secara intelektual; kedua, bahwa ia dibesarkan di dunia
mistik Islam tradisional Indonesia; ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi
budaya dan masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan
egalitarianisme. Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan
dipelejarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk
mencoba mengintegrasikan pemikiran Barat modern dan Islam.
Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya
ketika Gus Dur kembali ke Indonesia setelah menjalankan studinya di luar
negeri, bersama dengan para intelek lainnya, ia tergabung dalam sekelompok kecil
pemikir-pemikir perintis yang tengah bergulat untuk memperbarui pemikiran hukum
Islam. Masa tahun-tahun ini, Gus Dur sering terlibat dalam pemikiran intensif
dalam merumuskan pemahaman keIslaman yang integral dan komprehensif. Ia mulai
melakukan terobosan-terobosan pemikiran, yang kemudian mengantarkannya sebagai
pemikir kritis termasuk pada tradisi keagamaannya sendiri. Pemikiran barunya
terlihat nyata dalam perumusannya tentang konsep Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)
yang berbeda dengan mainstrem umum pemahaman masyarakat.[9]
Sebagaimana diketahui, doktrin ini
merupakan landasan paling pokok dalam pandangan keagamaan kaum tradisionalis.
Begitu mendasarnya doktrin ini sampai- sampai dapat disebut, wujud kongkrit
tentang apa yang disebut Islam di kalangan ini adalah Aswaja itu sendiri, yang
dipahami dalam dimensi ideologi sebagai benteng pertahanan tradisionalisme atas
serangan modernisme. Dalam pada itu, berkat komunikasi intelektual dengan
berbagai pihak ditambah improvisasinya sendiri Gus Dur mampu menampilkan
doktrin Aswaja menjadi konsep akademis yang membawa semangat kemanusiaan
universal.
Doktrin Aswaja menurutnya merupakan
serangkaian pandangan tentang berbagai sendi kehidupan masyarakat baik berupa
pandangan ideologis maupun orientasi kehidupan, di samping seperangkat
nilai-nilai yang melandasi kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya
bidang Aswaja mencakup beberapa segi, yaitu:
1.
Pandangan tentang manusia dan tempatnya dalam
kehidupan.
2.
Pandangan tentang ilmu, pengetahuan, dan teknologi.
3.
Pandangan tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat.
4.
Pandangan tentang hubungan individu dan masyarakat.
5.
Pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui.
pranata hukum, pendidikan, politik, dan budaya.
6.
Pandangan tentang cara- cara pengembangan masyarakat,
dan
7.
Asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat
dikembangkan dalam konteks doktrin yang formal diterima saat ini.[10]
Masing-masing poin di atas dielaborasi
oleh Gus Dur sedemikian rupa sehingga jelas konseptualisasinya. Dengan
demikian, sampai di sisni terlihat ciri universalisme pemikiran keagamaan Gus
Dur, suatu model yang hendak mentransformasikan nilai-nilai keagamaan dalam
praktek kehidupan yang luas. Tetapi lebih jauh dari itu, ia sesungguhnya juga
seorang liberal, dalam arti memiliki kecenderungan pemikiran bebas, tidak mau
terkungkung oleh batasan apa pun an siapa pun. Dengan pola pemikiran yang
cenderung liberal ini, Gus Dur semasa hidupnya menggagas ide pembaruan hukum
Islam di Indonesia bersama dengan pemikir muslim lainnya seperti Nurcholish
Madjid.
Kebebasan berfikir (liberalisme) Gus Dur
inilah yang kemudian memberikan menginspirasi para intelektual Islam Indonesia
untuk “bebas” pula memilih istilah yang tepat bagi tipologi pemikiran Gus Dur
menurut versi masing-masing. Greg Barton memasukkannya ke dalam kelompok neo-modernisme
yang pernah digagas oleh Fazlur Rahman. Dalam tipologi ini, Gus Dur
disandingkan dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Wahib dan Djohan
Effendy. Sebelumnya, Wiiliam Liddle memasukkan Gus Dur sebagai pemikir Indigenist.[11]
Sementara itu, M. Syafi’i Anwar memasukkan Gus Dur sebagai pemikir substanvistik.[12]
Bahkan yang terakhir, Mujamil Qomar, memasukkan Gus Dur sebagai pemikir divergen,
yaitu berpikir yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional.[13]
3.
Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan
Islam
a.
Pengertian
dan Konsep Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan sistem yang
diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan
ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Tujuan
dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh karenanya,
pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam yang
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.[14]
Konsep
dan gagasan K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas
terlihat pada gagasannya tentnag pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek
pendidikan pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan
kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era
globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus mempertahankan
identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak
larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang
manfaat positif untuk perkembangan.[15]
Gus Dur
pada sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai
potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, Terutama pada kaum
tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya,
pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana
keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik dan ideologi
negara, sekalipun.
Singkatnya,
konsep pendidikan Gus Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada
keyakinan religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta
didik menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.
Pendidikan
Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran
pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran
Barat modern. Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep
pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam
merupakan sebuah perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat
modern, dengan tidak melupakam esensi ajaran Islam.
b.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan
pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya.
Hal itu karena pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan
manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga akan tampak karakteristik
dari pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam
secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat pencitaan manusia, yaitu untuk
menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.[16]
Pendidikan
dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif
(pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi
kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan
sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir
pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia)
agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
c.
Kurikulum Pembelajaran
Sistem
pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif
tidak harus bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan potensi
peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem
yang dihadapi. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman Wahid,
diantaranya:
1) Orientasi
pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya,
pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik
pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan
dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek
kognitif (pengetahuan);
2) Dalam
proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga
membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri
peserta didik;
3) Guru
harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak hanya
mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran peserta didik
bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya transfer
of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti transfer of value
and skill dan pembentukan karakter (character building).
Oleh
sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai
dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis
dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran
aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat
kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut
diharmonisasikan dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.[17]
d.
Metode
pembelajaran
Salah
satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam
haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara
geografis. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode
yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia,
khususnya pada pendidikan Islam.[18]
Terkait
pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di pesantren
harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga
merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem
pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak
didik.
e.
Konsep
pendidik
Menurut
Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak
yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Guru juga harus
benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.
f.
Konsep
peserta didik
Peserta
didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi
disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna
menghadapi suatu problem yang dihadapi. Selain itu, peserta didik juga
diharapkan dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena
penekanan Gus Dur pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan
psikomotorik.
g.
Evaluasi
Pembelajaran
Gus dur
menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan yang
berorientasi proses (process oriented) yaitu, proses lebih
penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan
yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang
berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau title dikalangan
praktisi pendidikan dan pendidik.
4.
Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
Sebagai intelektual Sunni tradisional
pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi
khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu, yang menjadi
kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi
khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut
berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan
pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia. Corak
pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh
penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang
kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.
Jika dilacak dari segi kultural, Gus Dur melintasi
tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren
yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya
timur tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, lapisan budaya
barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya
terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang
secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah barangkali anasir
yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah
dipahami, alias kontroversi.
5.
Relevansi Pemikiran Gus Dur dengan Pendidikan Saat Ini
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat
relevan dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus
Dur, tujuan pendidikan Islam ialah untuk memanusiakan manusia. Tujuan tersebut
sampai saat ini masih dipertahankan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Artinya, dengan adanya
pendidikan, diharapkan manusia bebas dan terarah dalam mengembangkan fitrah
yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya. Bukan malah menjadi robot-robot
yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir orang yang mempunyai
kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam perspektif Islam
saja, namun juga berlaku untuk semua agama.
Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada
aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu, pembelajaran aktif, kreatif, dan
objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu
bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang satu ini nampaknya sudah diterapkan dalam sistem pembelajaran di
Indonesia saat ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik maupun peserta didik harus
sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Dari segi kurikulum pun sangat cocok
diterapkan dalam pendidikan di Indonesia ini. Menurut beliau, pendidikan
seyogyanya tidak hanya mencakup transfer of knowladge saja, tetapi juga
harus mencakup transfer of value serta pembentukan karakter. Pendidikan
di Indonesia jelas sepakat dengan pemikiran tersebut. Ini dibuktikan dengan
munculnya kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan berkarakter.
Pembaruan pendidikan harus terus dilakukan
dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun tidak meninggakan nilai-nilai
agama Islam. Meski pemikiran dan konsep pendidikan dari Gus Dur ini lebih
ditekankan kepada Islam, namun jika dikaji lebih dalam, semua pemikiran serta
konsep beliau mengenai pendidikan tersebut masihlah umum. Semua yang beliau
sajikan ini dapat pula diterapkan dalam pendidikan-pendidikan di luar konteks
Islam.
6.
Karya-Karya Intelektual KH.
Abdurrahman Wahid
Gus Dur adalah seorang intelektual bebas
(independen), atau mungkin -meminjam istilah Antonio Gramsci- "intelektual
organik" dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung
bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan
senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan pengikatan
diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting substansi
yang disampaikannya.
Sejumlah karya tulis ini membuktikan
intelektualisme Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang
kreatif-transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan ini juga mungkin suatu
bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi,
yang suatu waktu dapat terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik.
Ketajamannya membaca realitas dan kekritisannya mengambil keputusan dapat
dilihat dari kecenderungan tulisan-tulisan tersebut.
Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan
tersebut dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat
beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fiqih praktis di
pesantren hingga wacana global "rekayasa masa depan" disinggung oleh
Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang
serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus Dur.
Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus Dur, secara
simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema
pokok.
Ketujuh tema pokok ini juga menandai
gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui
tulisannya maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:
1)
Pandangan dunia pesantren.
2)
Pribumisasi Islam.
3)
Keharusan demokrasi.
4)
Finalitas, negara-bangsa pancasila.
5)
Pluralisme agama.
6)
Humanitarinisme universal, dan
7)
Antropologi kiai.
Ketujuh tema pokok ini secara umum
menjelaskan keluasan wawasan dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema
kontemporer yang menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, Lingkungan
hidup, dan gender. Tema- tema pokok inilah barangkali yang melandsi seluruh
gerakan Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan
maupun ekonomi. Seluruh tema tersebut, dalam banyak tulisan dibidik Gus Dur
dari pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekeyaan intelektual dan kebudayaan
pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenal agama diperoleh
dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal. Lembaga inilah yang
membentuk karakter keagamaan Gus Dur. Sementara pengembaraannya di timur tengah
dan di barat telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu mondial
yang membuatnya harus berfikir kosmopolit dan progresif.
Dalam artikel berjudul “Peranan Umat Islam
dalam Berbagai Pendekatan”,[19]
Gus Dur juga berargumen bahwa konvergensi nilai-nilai hukum Islam terdiri dari
dua model pendekatan, yaitu nilai inspiratif dan normatif. Model inspiratif
bahwa nilai- nilai Islam menjadi titik tolak bagi pengembangan moral aturan.
Sedangkan model yang kedua, normatif yaitu dapat dilakukan dengan cara melihat
Islam dalam bentuk norma. Sehingga menurutnya kedua pendekatan ini sangat
penting untuk dikembangkan, dan keduanya harus ada dan saling mendukung.[20]
Menurut penulis, hal inilah yang mungkin digunakan Gus Dur sebagai
landasan pendekatan antropologi-budaya pada ide ‘pribumisasi Islam’ miliknya.
Ide pribumisasi Islam yang fenomenal Gus
Dur berpandangan bahwa dalam memahami wahyu haruslah dipertimbangkan aspek
kontekstual ataupun adat istiadat setempat, sepanjang hal tersebut tidak
mengubah makna dan substansi agama dengan berdasarkan pada “al-‘ādatu
muhakkamah”.[21]
Pandangan Gus Dur tersebut merupakan buah
pemikirannya tentang universalisme Islam sebagaimana yang terdapat dalam
artikel berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”,
menurutnya universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manivestasi
penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai bidang
seperti hukum agama (fiqh), ketauhidan (tauhīd), etika (akhlāq)
yang dalam masyarakat seringkali disempitkan hingga menjadi kesusilaan belaka
dan sikap hidup, menampakkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur
utama dari kemanusiaan.[22]
Sementara itu, dalam artikel berjudul
“Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, Gus Dur berargumen
bahwa hukum Islam memiliki kedudukan kunci dalam kehidupan bergama. Sebagai
kumpulan peraturan dan tata cara yang harus diikuti oleh seseorang yang petuh
memeluk agamanya. Menurutnya hukum Islam memiliki pengertian yang lebih dari
sekedar luas lingkup yang dikenal orang pada umumnya. Di samping itu juga
mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang yuridis juga
meluputi soal-soal liturgi dan ritual keagamaan.
Dalam artikel berjudul “Islam, Ideologi
dan Etos Kerja di Indonesia”, Gus Dur berpandangan bahwa dengan mengutip
kembali fatwa muktamar NU 1935 di Banjar Masin yang menyentuh dua hal yang
sangat esensial yaitu bahwa Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk
melaksanakan ajaran agama dan membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk
negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik mereka
ditentukan oleh proses negara.[23]
Terdapat juga tulisan-tulisan kumpulan
esai yang ditulis Gus Dur pada periode 1980-an yang diterbitkan oleh Tempo. Sebuah
periode yang dapat disebut sebagai “periode ilmiah”-nya Gus Dur. Diantara judul
esai-esai tersebut antara lain seperti: Pesantren Dan Ludruk, Kiyai Nyentrik
Membela Pemerintah, Kiyai Khasbulloh Dan Musuhnya, Sulit Masuknya Mudah
Keluarnya, Kiyai Ikhlas Dan Ko- Edukasi, Reorientasi Kiyai Adlan, Kiyai Razaq
Yang Terbakar, Ketat Tapi Longgar, Kiyai Iskandar Dan Pak Damin, Bersatu Dalam
Menuntut Ilmu, Baik Belum Tentu Bermanfaat, Tokoh Kiyai Syukri, Sang Kiyai Dan
Keyakinannya, Dunia Nyatakiyai Zainal, Ustadz Yang Hidup Dalam Dua Dunia, Bila
Kiyai Berdebat, Kiyai Dolar Berdakwah, Syeikh Mas’ud memburu Kitab, Kiyai
Mencari Mutiara, Yang Umum Dan Yang Khusus, Akar Prioritas Ibadah, Dokter
Idealis Kiyai Formalis dan Muallim Syafi’i: In Memoriam. Berbagai judul
esai ini dapat pula ditemukan dalam buku “Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah.”
Dalam buku yang cukup fenomenal berjudul
“Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita”, Gus Dur menunjukkan bagaimana potret
pemikirannya tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu mutakhir, seperti
nasionalisme, demokrasi pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), kapitalisme,
sosialisme dan globalisasi. Pembahasannya tentang Islam selalu mampu menerobos
wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama pada umumnya.
Dalam konteks ini, Gus Dur ternyata mampu menghadirkan Islam mulai dari masa
awal kehadirannya hingga saat ini, dari nuansa tekstual hingga kontekstual,
dari aspek struktural hingga kultural.
Dalam buku ini, Gus Dur memberikan
tiga kerangka keberIslaman yang patut kita apresiasi bersama secara serius dan
mendalam, terutama dalam menciptakan Islam yang damai. Pertama, Islamku, yaitu
keberIslaman yang berlandaskan pada pengalaman pribadi perseorangan. Kedua,
Islam Anda, yaitu keberIslaman yang berlandaskan pada keyakinan. Dalam hal ini
harus diakui bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri terhadap
beberapa hal tertentu. Pandangan kalangan Nahdlatul Ulama dapat jadi berbeda
dengan pandangan kalangan Muhammadiyah. Demikian pula sebaliknya. Ketiga, Islam
Kita, yaitu keberIslaman yang bercita-cita untuk mengusung kepentingan bersama
kaum Muslimin. Dalam buku setebal 412 halaman ini, Gus Dur menekankan
pentingnya menerjemahkan konsep kebajikan umum sebagai jembatan untuk mengatasi
problem Islamku dan Islam Anda.[24]
Pada umumnya, diskursus keberIslaman hanya
terhenti pada kedua model tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur menawarkan solusi
akan pentingnya merajut antara keberIslaman yang berbasis pada pengalaman dan
keyakinan untuk membangun pemahaman keagamaan yang berorientasi pada perdamaian
dan keadilan sosial.
Seperti pernyataan Dr. M. Syafi’i Anwar,
dalam kata pengantarnya, dalam buku ini, benang merah yang sangat penting dari
pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan
syariatisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak
pada kemampuannya untuk berkembang secara kultural. Oleh karena itu, Gus Dur
lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi dibanding upaya
ideologisasi. Pemahaman seperti inilah yang menggugah Gus Dur untuk
melantangkan pentingnya pribumisasi Islam, terutama dalam konteks
keIndonesiaan.
Sementara Moeslim Abdurrahman, sahabat
dekat Gus Dur, mengibaratkan Gus Dur sebagai tokoh yang hendak membebaskan umat
dari beban sejarah politik masa lalunya, seraya menyeru agar umat Islam
Indonesia mampu menjawab beberapa persoalan mendesak, seperti kemajemukan dalam
berbangsa dan bernegara, demokratisasi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, Gus
Dur, menurutnya, termasuk salah satu tokoh penting yang melengkapi khazanah
intelektual Islam Indonesia lewat literatur klasik. Dalam konteks inilah, ia
-bersama Nurcholish Madjid- lantas disebut sebagai kelompok neo-modernis.
Kompleksitas wacana yang menjadi perhatian
Gus Dur menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang generalis, bukan spesialis
keilmuan tertentu. Hampir setiap isu kontemporer direspon Gus Dur. Ini mungkin
berkaitan dengan posisinya sebagai pemimpin publik dan aktivis gerakan sosial,
terutama di organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai pemimpin berjuta-juta umat pada
level nasional dan internasional (selaku Presiden WCRP) memaksa Gus Dur untuk
terlibat dalam segala urusan publik, mulai dari wacana internal keagamaan dan
ke-NU-an hingga wacana global yang menjadi trend Dunia Ketiga.
Meski secara kuantitatif garis
statistiknya kian meningkat, namun belum tentu untuk kualitas tulisan-tulisan
tersebut. Untuk mengetahui secara pasti kualitas masing-masing tulisan tersebut
kiranya butuh penelitian khusus. Tetapi dengan asumsi bahwa standar tulisan di
jurnal ilmiah, seperti Prisma, lebih serius dan lebih bermutu dari pada
tulisan artikel atau kolom di Majalah atau Surat Kabar Harian, maka periode
pertengahan akhir 1970-an hingga pertengahan pertama 1980-an merupakan puncak
keemasan intelektual Gus Dur. Kurun waktu inilah kiranya dapat disebut
"periode ilmiah" Gus Dur. Sepanjang tahun tersebut, Gus Dur
mencurahkan energi intelektualnya ke berbagai media massa terkemuka, seperti di
Prisma, Tempo, dan Kompas.
Sementara pada periode pertengahan akhir
1980-an hingga pertengahan awal 1990-an, tulisan Gus Dur memang tersebar ke
berbagai media massa dengan jangkauan lebih luas lagi. Bukan hanya Prisma,
Tempo, Kompas, Pesantren, melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita,
Editor, Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos, Forum Keadilan, dan sejenisnya. Akan
tetapi, tulisan-tulisan periode ini relatif lebih pendek dan singkat ketimbang
pada periode sebelumnya. Sebagian tulisannya diterbitkan dalam bentuk antologi.
Sedangkan dalam bentuk bunga rampai hanya satu, yakni “Kiai Menggugat Gus Dur
Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi”.[25]
Seiring dengan kesibukannya pada akhir
tahun 1990-an, tulisan-tulisan ilmiah bermutu Gus Dur di atas pada akhirnya
berganti dengan komentar-komentar dan statemen-statemen yang hampir tiap hari
menghiasi wacana Koran atau Majalah. Apalagi setelah nuansa gerakan politiknya
kian pekat di penghujung 1990-an, di mana Gus Dur menjadi deklarator PKB
(Partai Kebangkitan Bangsa) dan sekarang menjadi Presiden RI Keempat, maka
tulisan-tulisan itu tampaknya akan berubah menjadi pidato-pidato dan
statemen-statemen politik saja. Demikian gambaran singkat spektrum
intelektualitas Gus Dur dan hubungannya dengan gerakan praksis sosialnya.
Dengan pemaparan data-data karya tulis
intelektual ini, tampak jelas bahwa Gus Dur ternyata bukan hanya seorang
aktifis gerakan sosial dan gerakan politik semata, melainkan juga seorang
intelektual dan pemikir cerdas yang terkemuka, sejajar dengan pemikir-pemikir
besar lainnya, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Meski ia tak
pernah belajar di dunia akademik yang terdepan dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi
dalam daftar karya intelektual Gus Dur itu jelas terlihat kedalamannya meramu
ilmu-ilmu sosial dengan pengetahuan keagamaan yang kritis.
B. NURCHOLIS MADJID (CAK NUR)
1.
Biografi Cak Nur
Nurcholis
Madjid lahir di Jombang Jawa Timur, 17 maret 1939 (26 muharram 1358), dari
keluarga kalangan pesantren. Cak Nur, bagitu panggilan angkrabnya ketika kecil
bercita-cita menjadi masinis kereta api. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah
Rakyat di Mojoanyar dan bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar
(sore) ; Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang ; KMI (Kuliyatul Mutaalimin al-Islamiyah) Pondok Pesantren Modern
Darussalam Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sarjana Sastra
Arab 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought,
1984).[26]
Beliau
aktif dalam gerakan kemahasiswaan, antara lain: Ketua Umum Himpunan
Mahasiswa Islam Cabang Ciputat; Ketua Umum PB HMI (1966-1969 dan 1969-1971);
Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1976;
Wakil sekjen IIFSO (International Islamic
Federation of Studens Organizations), 1969-1971 dan sejak tahun 1991
Nurcholis Madjid menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI).
Kegiatan
dalam bidang pendidikan, antara lain: mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah,
1985-2005; peneliti pada LIPI, 1978-2005; guru besar tamu di Universitas
McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship,
bersama isteri 1990. Beliau banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan di
berbagai majalah, surat kabar dan buku sutingan. Sejak tahun 1986, bersama
kawan-kawan di ibukota mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan
kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia.[27]
Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak
Nur, hidup ditengah keluarga NU yang kental. Ayahnya adalah tokoh terkemuka
(kiyai) sekaligus seorang pemimpin partai Islam (Masyumi) kala itu. Riwayat
pendidikannya yang beraruskan paham keagamaan yang kental menjadikannya seorang
yang kritis dan mapan dalam pemikiran ke-Islaman.
Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi
keluarga dan komunitas sosialnya, Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis.
Tipologi Islam borjuis digunakan untuk mengidentifikasi kelas menengah atas
muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya cenderung mengusung
simbol-simbol Masyumi-HMI, dan cenderung mengurung simbol-simbol Islam formal.
Cak Nur adalah seorang yang sering
dijuluki “Guru Bangsa” karena banyak memikirkan bagaimana Indonesia menjadi
sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya
terbatas mengenai Islam, tetapi juga meliputi pemikiran keindonesiaan modern.
Iapun menjadi pelopor banyak isu pembaharuan politik, seperti ide pentingnya
osisi loyal, civil society, demokrasi,
pancasila sebagai common platform bangsa ditengah nilai-nilai keagamaan,
pluralisme, dan hak asasi manusia. kontribusi pemikiran Cak Nur bukan hanya
berkaitan dengan umat Islam, tetapi juga bangsa Indonesia.
Cak Nur
meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang
dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan
warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.[28]
2.
Pendekatan Teori Nurcholis Madjid
Berbicara mengenai Cak Nur tidak akan
terlepas dari anggapan tentang konotasi Islam liberal ataupun plural. Menurut
Khalik, pluralisme Cak Nur bertumpu pada pada gagasan Islam sebagai agama
universal dan tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat
kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri.[29]
Cak Nur mengusung pemikiran pluralisme
positif. Pluralisme positif menupakan semangat yang menjadi salah satu hakikat
islam. Pluralisme oleh islam yang tidak pernah hilang itu sekarang harus dengan
penuh kesadaran diterapkan dalam pola-pola yang sesuai dengan tuntutan zaman
moderen, demi memenuhi tugas sucinislam sebagai agama tauhid (ketuhanan YME)
untuk ikut serta menyelamatkan umat manusia dan kemanusiaan di zaman mutakhir
ini.[30]
Pendekatan lain yang dibawa Cak Nur adalah
pendekatan neomodernis. Dalam bingkai neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur
meletakkan pondasi pemikiran Islam. Gagasannya jauh kedepan karena ia
amat menyadari bahwa untuk mengubah karakter umat Islam, dan bangsa Indonesia
secara lebih umum diperlukan waktu sekitar 25 tahun.
Disini Cak Nur melihat potensi pesantren
di Indonesia. Dilihat dari historisnya, pesantren sebagai sistem pendidikan
tradisional dan tertua telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk
kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pada era 70-an Cak Nur telah memprekdidikan
pesantren sebagai sesuatu yang dapat dijadikan alternatif terhadap sistem yang
ada.[31]
3.
Pemikiran
Pendidikan Islam Cak Nur
a.
Kondisi
objektif pesantren
Pesantren
di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pesantren terdiri
dari 5 pokok elemen, yaitu: kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran
kitab-kitab klasik. Keberadaan kyai dalam pesantren laksana jantung bagi
kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter karena
kyailah perintis, pendiri, pengasuh, pemimpin bahkan pemilik tunggal sebuah
pesantren.[32]
Segala urusan yang berkaitan langsung dengan pesantren menjadi dan bahkan
bisa dicampuri oleh kyai langsung. Sehingga banyak pesantren yang tutup pasca
wafatnya sang kyai.
Dalam
proses pembelajaran para santri mempelajari kitab-kitab klasik dimana
kitab-kitab tersebut dapatmengidentifikasikan kazanah keilmuan yang yang
bernuansa kultural, akhlak, ilmu, karomah, integritas keimanan, kefaqihan, dan
sebagainya. Masjid juga menjadi hal utama dalam sistem pembelajaran pesantren.
Disini, masjid bukan hanya fijadikan sebagai sarana kegiatan saja, namun juga
sebagai pusat belajar mengajar.
Dari
sikap terhadap tradisi pesantren kepada jenis salafi dan khalafi. Jenis
salafi merupakan jenis pesantren yang
tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikannya. Berbeda dengan pesantren khalafi yang tampaknya menerima hal-hal
baru yang dinilai baik disamping tetap mempertahankan tradisi lama yang baik.[33]
Pada
kondisi objektif tersebut, guna menjadikan pesantren lebih ideal, Nurcholis
menawarkan perlu adanya rekonstruksi tujuan pesantren, adanya pembaharuan
pesantren serta membaharui manajemen pesantren.[34]
b.
Tujuan
pendidikan pesantren
Faktor
pertama kurangnya kemampuan pesantren dalam merespon dan mengikuti perkembangan
zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren.
Pada
dasarnya tujuan dari pendidikan pesantren adalah mencipta dan mengembangkan
kepribadian muslim yang bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara,[35]
serta membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ilmu pengetahuan
Islam sesungguhnya meliputi lingkup yang amat luas,yaitu tentang Tuhan, manusia
dan alam termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi matematis sebagaimana
terbukti dari banyaknya istilah-istilah moderen (barat) di bidang-bidang itu
berasal dari para ilmuan muslim. Tujuan akhirnya adalah beriman, berilmu dan
beramal.[36]
c.
Kurikulum
dan metode pendidikan pesantren
Nurcholis
Madjid menyatakan bahwa dalam aspek kurikulum, pelajaran agama masih dominan
dilingkungan pesantren. Pada umumnya pembagian keahlian lulusan atau produk
pendidikan pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut: Nahwu-sharaf, Tafsir,
Hadits, Bahasa Arab dan Tasawuf
Nurcholis
Madjid menekankan agar dalam penerapan kurikulum dipesantren adanya check and balance. Perimbangan ini
dimaksudkan agar pengetahuan keislaman dan pengetahuan umum agar dapat berjalan
sejalan satu dengan yang lainnya.
d.
Sistem
nilai pesantren
Ada tiga
aspek yang mengakar dalam kultur pesantren yang digunakan sebagai sistem nilai
yang dikenal sebagai Ahl-al-sunnah wa
al-jamaah , yaitu:[37]
-
Teologi Al-Asy’ari
-
Fiqh madzhab
-
Tasawuf praktis
4.
Ide Pokok Pemikiran Nurcholis Madjid
Pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid
harus dapat memberikan arah pengembangan dua dimensi bagi peserta didik, yakni
dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Jika diklasifikasikan, maka konsep
pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis Madjid merupakan sebentuk corak
pendidikan progresif plus spiritualitas. Hal ini dibuktikan dengan
memperhatikan dua orientasi pendidikan di atas dan prinsip-prinsip pemikiran
Nurcholis Madjid yang kerap menekankan sikap terbuka, fleksibel, kritis dalam
berpikir; gagasan tentang demokrasi; desakralisasi atau sekularisasi; atau
cita-cita masyarakat madani yang toleran dan plural. Kesemua modalitas ini
kemudian diwujudkan sebagai agenda pembaharuan pendidikan Islam melalui
seperangkat metodologi yang beberapa di antaranya telah penulis identifikasi sebagai
metode berpikir rasional, metode pemecahan masalah, eksperimen, kontemplasi,
diskusi, dan penguasaan bahasa asing.[38]
Kegiatan menanamkan nilai-nilai,
sesungguhnya akan membentuk pendidikan keagamaan. Nilai-nilai itu antara
lain: Islam, iman, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Kemudian
nilai-nilai akhlak yang akan mendorong kepada kemanusiaan antara lain:
silaturrahmi, persaudaraan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang
dada, dapat dipercaya, dan sebagainya.[39]
Fokus utama yang menjadi pemikiran Nurcholish Madjid, terkait
dengan pembaharuan pemikiran Islam, ialah bagaimana memperlakukan ajaran Islam
yang merupakan ajaran universal dan dalam hal ini dikaitkan sepenuhnya dengan
konteks (lokalitas) Indonesia. Bagi Nurcholish Madjid, Islam hakikatnya sejalan
dengan semangat kemanusiaan universal. Hanya saja, sekalipun nilai-nilai dan
ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaan tersebut harus disesuaikan dengan
pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural masyarakat yang
bersangkutan. Dalam konteks Indonesia, maka harus juga dipahami kondisi riil masyarakat
dan lingkungan secara keseluruhan termasuk lingkungan politik dalam kerangka
konsep “Negara bangsa”.[40]
5.
Analisis
Pemikiran Nurcholis Madjid
Dari berbagai pemaparan tentang tawaran
konsep pendidikan Nurcholis Madjid yang hampir sebagian besar mengerucut pada
pembaharuan pesantren, saya rasa sangan relevan jika diterapkan pada saat ini.
Hal ini karena, masih banyak pesantren di Indonesia yang masih termajinalkan.
Kaum santri yang masih dikonotasikan udik dan tidak intelek. Dengan pembaharuan
pendidikan pesantren yang bisa mengintegralkan antara pendidikan umum dan agama
bisa diharapkan akan terwujudnya para santri intelek.
6.
Aktivitas Intelektual dan Karya-karya Nurcholih Madjid
Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama
menjadi mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI
Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja berbentuk
pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi keagamaan klasik an
sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk menguasai materi pelajaran di
kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor merupakan pesantren modern yang
mengajarkan mereka bagaimana cara berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang
dirasakan oleh Nurcholish Madjid.
Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan
dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu berwujud
sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)
selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda organisasi Nurcholish
Madjid banyak menerapkan komitmen ke-KMIannya[41]
yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya.
Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih sebagai
ketua umum PB HMI untuk dua tahun berturut-turut yakni periode 1966 sampai 1969
dan periode 1969 sampai 1971. Berkat kepiawaiannya sebagai mantan ketua umum
PBHMI, selama menjadi mahasiswa di Amerika ia pun dipercaya untuk menjadi
presiden persatuan mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada tahun 1967-1969
dan berikutnya ia dipercaya pula untuk menjabat sebagai wakil Sekjen IIFSO
(International Islamic Federation of Student Organization/ Federasi
Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) pada tahun 1967-1971.[42]
Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid menduduki beberapa
posisi sentral. Di antara beberapa karir sentral yang dicapainya adalah;
menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta tahun
1972-1974, menjadi pemimpin umum majalah mimbar Jakarta tahun 1971-1974, dan
juga menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia
mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan), pada
tahun 1972-1976 dan LKIS (Lembaga Kebijakan Islam Samanhudi) tahun 1974-1977.
Nurcholish Madjid bekerja di LEKNAS LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial)
di Jakarta tahun 1978-1984, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1986 Nurcholish Madjid mendirikan
dan menjadi ketua Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian
keislaman dan menjadi penulis tetap harian pelita, Jakarta pada tahun 1988.
Nurcholish Madjid menjadi anggota MPR RI, pada bulan Agustus 1991 dan menjadi
dosen tamu di Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal,
Canada. Sejak tahun 1988 Nurcholish Madjid dikukuhkan sebagai guru besar luar
biasa dalam ilmu filsafat Islam sekaligus menjadi Rektor Paramadina Mulya,
Jakarta.[43]
Tahun 1991 Nurcholish Madjid juga menjabat sebagai ketua Dewan Pakar Ikatan
Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Menjadi anggota Komisi Nasional Hak-hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan pada tahun 1993 tercatat sebagai salah seorang
anggota MPR RI.[44]
Pada tanggal 3 Januari 1970, dalam acara malam silaturrahmi
organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana muslim yang tergabung dalam
HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami
(Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) Nurcholish Madjid menggantikan pidatonya
Dr. Alfian yang berhalangan datang. Pidato yang disampaikannya dalam acara
besar tersebut berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat”.[45]
Dari pidato yang disampaikannya ini Nurcholish Madjid mulai menuai
pandangan yang sangat kontroversial termasuk dari para seniornya, semisal.
Rasjidi, dikarenakan anjurannya terhadap sekularisasi. Isi pembahasan dari
judul pidato, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Umat” yakni mencakup; Islam Yes, Partai Islam No; kuantitas versus kualitas,
liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam sekarang (sekularisasi, kebebasan
berfikir, idea of progress, dan sikap terbuka), dan perlunya kelompok
pembaharuan “liberal”. Liberalisasi pemikiran Nurcholish Madjid dimulai dari
penyampaian pidatonya pada acara HUT ke-3 HMI di Jakarta, 5 Pebruari 1970,
dengan judul “pembaharuan pemikiran dalam Islam”. Kegigihannya untuk
mengembangkan pola-pola penyegaran paham keagamaan Islam dilakukannya pada saat
memberikan kuliah di pusat kesenian Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul
“Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”.[46]
Nurcholish Madjid adalah seorang dari sedikit intelektual muslim
Indonesia dan menjadi orang nomor satu di Paramadina. Ia dilahirkan dari
kalangan Islam tradisionalis yang kuat. Nurcholish Madjid sejak memperoleh
pendidikan di Pesantren Gontor, yaitu pesantren yang menerapkan semboyan
“berfikir babas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan
luas”, sangat mempengaruhi pemikirannya untuk tidak memihak pada salah satu
madzhab Islam.
Pada saat Nurcholish Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa
Islam Indonesia (HMI), satu periode di mana Republik Indonesia sedang
bergejolak dan merupakan masa transisi dari rezim lama ke rezim baru yang
membawa paradigma baru, termasuk paradigma dalam membangun Indonesia ke depan
saat itu yang kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit banyak menjadi
variabel signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran keislaman Nurcholish
Madjid yang relatif “asing” bagi umat Islam saat itu.[47]
Nurcholish Madjid sejak menjadi mahasiswa telah aktif menulis
tentang kajian keislaman maupun politik, sehingga dia sempat mendapatkan gelar
“Natsir Muda”. Gelar tersebut didapat Nurcholish Madjid dengan ciri khas orang
yang anti dan sangat membenci Barat, akan tetapi sikap itu pada akhirnya runtuh
ketika Nurcholish Madjid usai melakukan kunjungannya di Amerika Serikat dan
beberapa Negara Timur Tengah[48]
yang akhirnya gelar tersebut dicopot.
Pada saat Nurcholish Madjid melaksanakan pendidikan di Chicago,
Amerika Serikat, beliau menjadi murid seorang ilmuan muslim ternama
neomodernisme dari Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Diperguruan inilah Fazlur
Rahman mengotak-atik pemikiran Nurcholish Madjid untuk dibawa ke bidang kajian
keislaman. Pengaruh Fazlur Rahman terhadap gerakan intelektual Nurcholish
Madjid bukan untuk mengubah pola pemikiran Nurcholish Madjid. Hanya saja, bukan
mengatakan sama sekali, Fazlur Rahman telah begitu berpengaruh dalam
mengantarkan pemikiran Nurcholish Madjid untuk kembali kepada warisan klasik
kesarjanaan Islam.
7.
Karya-karya Intelektual Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif.
Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986 mendirikan
Yayasan Wakaf Paramadina.[49]
Di lembaga inilah sebagian besar Nurcholish Madjid mencurahkan hidup dan energi
intelektualnya (sehingga pada akhirnya melahirkan Universitas Paramadina Mulya,
dengan obsesi mampu menjadi pusat kajian Islam kesohor di dunia) di samping
sebagai peneliti LIPI sebagai profesi awalnya dan sekaligus sebagai Profesor
Pemikiran Islam di IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dalam
perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan banyak artikel ataupun makalah yang
telah dibukukan. Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:
1)
Khazanah
Intelektual Islam. Karya ini menurut penulisnya dimaksudkan untuk memperkenalkan
salah satu aspek kekayaan Islam dalam bidang pemikiran, khususnya yang
berkaitan dengan filsafat dan teologi. Dalam buku ini dibahas pemikiran
al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, Ibn
Khaldun, Jamal al-Din alAfghani dan Muhammad Abduh.
2)
Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan. Dalam buku ini, yang merupakan kumpulan tulisan
selama dua dasawarsa melontarkan gagasan Nurcholish Madjid tentang korelasi
kemodernan, keislaman dan keindonesiaan, sebagai respon terhadap berbagai persoalan
dan isu-isu yang berkembang di saat itu.
3)
Islam
Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan.[50]
Buku ini merupakan karya monumentalnya pasca studi di Chicago. Dalam buku ini,
Cak Nur berusaha mengungkapkan ajaran Islam yang menekankan sikap adil,
inklusif dan kosmopolit.
4)
Islam
Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish Madjid “Muda”.(1994)
5)
Pintu-Pintu
Menuju Tuhan (1994). Buku ini merupakan kumpulan sebagian besar tulisan Cak Nur
di harian Pelita dan Tempo. Menurut penulisnya, buku ini merupakan penjelasan
lebih sederhana dan “ringan” (populer) dari gagasan Islam inklusif dan
Universal yang menjadi tema besar buku Islam Doktrin dan Peradaban.
6)
Islam Agama
Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995).
Dalam buku ini pemikiran Cak Nur lebih terarah pada makna dan implikasi
penghayatan Iman terhadap perilaku sosial yang senantiasa mendatangkan dampak
positif bagi kemajuan peradaban kemanusiaan.
7)
Islam Agama
Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995). Buku ini
sama dengan karya monumentalnya, hanya saja, Cak Nur menyajikannya dengan
wawasan yang lebih kosmopolit dan universal sekaligus mempertimbangkan aspek
parsial dan kultural paham-paham keagamaan yang berkembang.
8)
Masyarakat
Religius (1997). Buku ini mengetengahkan konsep Islam tentang kemasyarakatan,
antara komitmen pribadi dan komitmen sosial serta konsep tentang eskatologi dan
kekuatan adi-alami.
9)
Tradisi
Islam: Peran dan Fungsinya dalam pembangunan di Indonesia (1997). Dalam buku
ini Cak Nur mengetengahkan tentang peran dan fungsi Pancasila, organisasi
politik, demokratisasi, demokrasi dan konsep oposisi loyal.
10) Kaki Langit Peradaban Islam
(1997), mengetengahkan tentang wawasan peradaban Islam, kontribusi tokoh
intelektual Islam semisal Al-Shafi’i dalam bidang hukum, al-Gazali dalam bidang
tasawuf, ibn Rusyd dalam filsafat dan Ibn Khaldun dalam filsafat sejarah dan
sosiologi.
11) Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah
potret Perjalanan (1997), yang membahas tentang dinamika pesantren serta
kontribusinya dalam peradaban Islam di Indonesia.
12) Dialog Keterbukaan: Artikulasi
Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1997). Buku yang merupakan
transkrip wawancara yang pernah dilakukan oleh Cak Nur memiliki mainstream
bagaimana nilainilai universal dan kosmopolit Islam diaktualisasikan dalam
praktik politik kontemporer.
13) Cendekiawan dan Religiusitas
Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid “Tekad” (1999). Dalam buku ini Cak Nur
berusaha menjelaskan pemikiran-pemikirannya tentang keterkaitan antara dimensi
keislaman dengan dimensi keindonesiaan dan kemodernan sekaligus. Buku ini
merupakan kumpulan tulisan Cak Nur di Tabloid Tekad yang merupakan suplemen
dalam harian Republika, sebuah koran harian yang diterbitkan oleh ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia).
14) Cita-cita Politik Islam di Era
Reformasi (1999). Buku ini merupakan perjalanan panjang politik
NurcholishMadjid dalam wacana perpolitikan di Indonesia. Dalam buku ini
prototype negara Madinah yang telah didirikan Nabi Muhammad sedemikian
ditekankan oleh Cak Nur sebagai sesuatu yang sangat cocok untuk diterapkan
kini, mengingat nilainilainya sedemikian modern bahkan terlalu modern untuk
masanya sehingga tidak bertahan lama.
15) Indonesia Kita (2003). Dalam buku
yang merupakan karya tulis terakhirnya, Nurcholish Madjid berusaha memahami
secara lebih luas dan mendalam tentang hakikat dan persoalan bangsa dan negara
Republik Indonesia sejak dari masa lampau sampai sekarang yang menantang. Dalam
buku ini dimuatpokok pemikiran Cak Nur ketika mencalonkan diri sebagai Presiden
RI yang meskipun kandas melalui konvensi Partai Golkar yang terkenal dengan
Sepuluh Platform Membangun Kembali Indonesia.
Di samping itu, terdapat beberapa ceramahnya yang juga dibukukan,
seperti Perjalanan Religius Umrah dan Haji; Pesan-Pesan Takwa Nurcholis Madjid:
Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina; 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan
Ramadhan.
Pada sisi lain, ia juga banyak menulis artikel yang tersebar di
beberapa buku suntingan orang lain, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa
Inggris, yang tersebar di beberapa jurnal nasional maupun jurnal internasional.
a. Karya-karya dalam Bahasa Inggris
1) The Issue of Modernization Among
Muslimin in Indonesia: From a participant’s Paint of View, dalam Gloria Davies
(ed.)
2) What is Modern Indonesia Culture?
(Athens, Ohio, University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979)
3) Islam in the Contemporary World,
(Notre Dame, Indiana, Cross Roads Books, 1980)
b. Karir dan aktivitas intelektual
Nurcholish Madjid di tingkat internasional.
1)
Presenter,
Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, November 1992,
Bellagio, Italia.
2)
Presenter,
Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April
1993, Wina, Austria.
3)
Presenter,
Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu,
Hawaii, Amerika Serikat.
4)
Presenter,
Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993,
Teheran, Iran.
5)
Presenter,
Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang
Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko
6)
Presenter,
seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995,
Bellagio, Italia
7)
Presenter,
seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995,
Canberra, Australia
8)
Presenter,
seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995,
Melbourne, Australia
9)
Presenter,
seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,”
Juni 1996, Leiden, Belanda.
10) Presenter, seminar internasional
tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
11) Presenter, seminar internasional
tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
12) Presenter, seminar internasional
tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
13) Pembicara, konferensi USINDO
(United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington, DC, Amerika Serikat
14) Peserta, Konferensi Internasional
tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina,
Austria
15) Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan
Islam”, November 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat
16) Pembicara, Seminar tentang “Islam
dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas Georgetown, Washington, DC,
Amerika Serikat
17) Pembicara, Seminar tentang “Islam
dan Pluralisme”, November 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC,
Amerika Serikat
18) Sarjana Tamu dan Pembicara,
Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), November 1997,
San Francisco, California, Amerika Serikat
19) Sarjana Tamu dan Pembicara,
Konferensi Tahunan AAR (American Academy of Religion) Akademi Keagamaan
Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat
20) Presenter, Konferensi
Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Jenewa,
Swiss
21) Presenter, Konferensi
Internasional tentang “Agama-agama dan Hakhak asasi Manusia”, November 1998
State Department (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, Amerika
Serikat
22) Peserta Presenter “Konferensi
Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
23) Presenter, Konferensi
Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia
Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang
24) Peserta, Sidang ke-7 Konferensi
Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), November 1999, Amman, Yordania.[51]
PENUTUP
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur
merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan
pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern sehingga mampu
melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan
zaman. Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang
mutlak adanya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses
pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), untuk menjalankan fungsi
kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan
sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir
pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik agar
sesuai dengan fitrah keberadaannya.
Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H
Abdurrahman Wahid, diantaranya, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan
pada aspek afektif dan psikomotorik. Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan
bahwa pendekatan pembelajaran dipesantren harus mampu merangsang kemampuan
berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya
sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya
akan membunuh daya eksplorasi anak didik. Menurut Gus Dur, pendidik harus
memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka
dan menerapkan manajemen modern.
Pemikiran Cak Nur memang tidak akan pernah
bisa terlepas dari ke-Islaman. Begitu pula dengan pemkirannya terkait dengan
pendidikan. Cak Nur lebih banyak menyorot pesantren yang memang masih dirasa
perlu memberikan perhatian khusus.
Tawaran yang Cak Nur berikan adalah
penertiban manajemen pesantren, merumuskan kembali tujuan pesantren, kurikulum
pesantren, sistem nilai pesantren serta penanaman value (nilai) kepada peserta didik. Beriman, berilmu dan beramal.
Dari berbagai pemaparan tentang tawaran
konsep pendidikan KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid yang hampir
sebagian besar mengerucut pada pembaharuan pesantren. Dengan pembaharuan
pendidikan pesantren yang bisa mengintegralkan antara pendidikan umum dan agama
bisa diharapkan akan terwujudnya para santri intelek.
Pemikirannya melalui paradigma
kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu,
yang menjadi kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi
khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut
berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan
pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik
Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia), 1999
Abdurrahman
Wahid, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan
Transformasi, Jakarta: RMI dan Jawa Pos, 1989
Ahmad A. Sofyan dan Roychan
Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara
dan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003
Akhmad Amir
Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurkholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rinek Cipta, 1999
Aris
Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais, Yogyakarta: Laelathinkers, 2003
Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham
Sekularisasi Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung
: Mizan, 1987
Faisol, Gus
Dur dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013
Greg Barton,
Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (terj.) Jakarta: Paramadina,
1999).
http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid,
diakses tanggal 28 Juni 2015
http://info-biografi.blogspot.com/2010/02/dr-nurcholis-madjid.html diakses
22 Juni 2015
http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/04/definisi-pendidikan-perbandingan.html diakses tanggal 22 Juni 2015
Kamaruzzaman
Bustamam- Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
2004
M. Husaini,
“Pribumisasi Islam ala Gus Dur”. Dalam http//www.nu.or.id,
diakses pada 26 Oktober 2010.
M. Mansur
Amin dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik,
(Yogyakarta: LKPSM NU, 1993
M.Sugeng
Sholahuddin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Pekalongan: Stain
Press, 2005
Muhammad
Rifa’i, Gus Dur, Yogyakarta: Garasi, 2009
Mujamil
Qomar, NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme
Islam, (Bandung: Mizan, 2002
Mujamil
Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005
Mukhtar
Ganda Atmaja dan M.Shodiq (peny.), Kontroversi Pemikiran Islam Di
Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990
Muntaha
Azhari dan Mun’im Saleh (ed.), Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta:
P3M, 1989
Nurchois
Madjid, Bilik-bilik pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997
Nurcholis
Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah
keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992
Nurcholish Madjid, Biografi dalam Surat-surat Politik
Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, Jakarta: Djambatan, 2004
Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung:
Mizan, 1987
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani
Nurcholish Madjid, Yogyakarta: LP2IF dan Pstaka Pelajar Offset, 2001
Tjun
Surjaman, Hukum Islam di Indonesia; Pemikiran dan Praktek, Cet. II,
(Bandung: Remaja Posdakarya, 1994
Yasmadi, Modernisasi
pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional
Jakarta: Ciputat Press, 2002
Zainal Ali, 100
Orang Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008
Fotenote
[1] M.Sugeng Sholahuddin,
Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Pekalongan: Stain Press, 2005, hal.
15.
[4] Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia, (terj.), (Jakarta: Paramadina, 1999).
Khusus tentang pemikiran dan kiprah Gus Dur, lihat. hal.325-430 dan hal.488-501
[5] Greg Barton, The
Authorized., hal. 138
[6] Zainal Ali, 100
Orang Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008), hal. 17
[7] Greg Barton, Gagasan.,
hal. 325
[8] Akhmad Amir
Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurkholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rinek Cipta, 1999), hal. 31
[9] Akhmad Amir
Aziz, Neo-Modernisme., hal. 32
[10] Akhmad Amir
Aziz, Neo-Modernisme., hal. 32- 33
[11] Gagasan ini
lebih menekankan substansial kultural dalam proses Islamisasi di Indonesia.
Lebih jelas, lihat, M. Syafi’i Anwar, Pemikiran., hal. 156
[12] Mujamil Qomar,
NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam,
(Bandung: Mizan, 2002 ), hal. 254
[13] Kamaruzzaman
Bustamam- Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
2004), hal.85
[19] Mukhtar Ganda
Atmaja dan M.Shodiq (peny.), Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), hal. 195
[20] Muntaha Azhari
dan Mun’im Saleh (ed.), Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989),
hal.198-199
[21] Ibid.
hal. 83
[22] M. Mansur Amin
dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik,
(Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), hal. 545
[23] Tjun Surjaman, Hukum
Islam di Indonesia; Pemikiran dan Praktek, Cet. II, (Bandung: Remaja
Posdakarya, 1994), hal. 2
[24] M. Husaini,
“Pribumisasi Islam ala Gus Dur”. Dalam http//www.nu.or.id,
diakses pada 26 Oktober 2010.
[25] Abdurrahman
Wahid, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan
Transformasi, (Jakarta: RMI dan Jawa Pos, 1989)
[26] M. Sugeng Sholehudin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
Pekalongan: STAIN Pekalongan press, 2005, hal. 89
[30] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis
tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 1992 hal. 2
[31] Yasmadi, Modernisasi
pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional
Jakarta: Ciputat Press, 2002, hal.59-60
[35] Mujamil Qomar, Pesantren:
dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005, hal. 4
[38] http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/04/definisi-pendidikan-perbandingan.html diakses
tanggal 22 Juni 2015
[40] Ahmad A. Sofyan dan Roychan Madjid, Gagasan
Cak Nur, hal. 83-84.
[41] Seperti sikap disiplin, kejujuran, keuletan,
kreatif dan persiapan (Al- I’dal Wal Isti’dad), ketegasan dalam bertindak,
lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal…,hal. 65
[42] Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), hal 26
[43] Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani Nurcholish
Madjid (Yogyakarta: LP2IF dan Pstaka Pelajar Offset, 2001), hal. 63
[44] Nurcholish Madjid, Biografi dalam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem,
(Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 211
[45] Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish
Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987), hal.
18-19
[46] Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, hal. 66
[47] Ahmad A. Sofyan dan Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003), hal. 73
[48] Ibid., hal. 65
[49] Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
[50] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987).
[51] http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid,
diakses tanggal 28 Juni 2015
Comments
Post a Comment