Sejarah Timbulnya Aliran Muktazilah dan Garis Besar Pemikirannya
Oleh: *Abdul Katar
PENDAHULUAN
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) IAIN STS Jambi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran muktazilah merupakan aliran teologi islam yang terbesar dan
tertua. Kaum muktazilah secara teknis terdiri dari dua golongan dan
masing-masing golongan mempunyai pandangan yang berbeda. Golongan tersebut
ialah Golongan pertama, (disebut Muktazilah I) muncul sebagai respon politik
murni dan golongan kedua, (disebut Muktazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat
adanya peristiwa tahkim. Banyak sebutan mengenai kaum muktazilah salah satunya Ahlul
‘Adl Wa at-Tauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan
Allah). Sedangkan ajaran pokok muktazilah yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid),
Keadilan Tuhan (Al-Adlu), Janji dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu), Tempat di
antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain), Menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar). Dan yang paling penting yakni
kegiatan orang-orang muktazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi
serangan orang-orang mongolia atas dunia islam. Meskipun demikian, paham dan
ajaran aliran muktazilah yang penting masih hidup sampai sekarang dikalangan
syiah zaidiah.
Memang pada awalnya Muktazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad
untuk tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat
dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Muktazilah.
Muktazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah sebagai
sumber perpecahan pertama tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori
“al manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah tekanan Asy’ariah
nampaknya mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.[1]
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai
dari timbulnya aliran berlatar belakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga
bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab
dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak
pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang
statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir. Namun dari semua aliran yang
mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang
terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang
bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara
golongan/aliran itu adalah Muktazilah.
Mempelajari
dan menganalisa aliran pemikiran Muktazilah dalam perkembangan pemikiran Islam,
merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Disebut menarik, karena
aliran Muktazilah merupakan aliran teologi Islam yang tertua dan terbesar yang
telah memainkan peranan penting dalam pemikiran dunia Islam.[2]
Hal menarik lainnya karena Muktazilah merupakan representasi kesadaran dunia
Islam dalam kemajuan dan kemodernaannya. Disebut signifikan karena mempelajari
tentang aliran Muktazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam
mengembalikan wacana kesadaran Islam sebagai counter peradaban (civilization
counter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena
metodologi interpretasi aliran Muktazilah memberikan kontribusi yang luar biasa
besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya dan ekonomi bagi
peradaban Islam masa kini.
Banyak yang mengidentikkan Muktazilah dengan aliran sesat,
cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran
Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Muktazilah sebagai main
icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran
bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali
bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan
bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.
PEMBAHASAN
A.
Asal-Usul Mutazilah
Perkataan "Muktazilah" berasal dari kata
"i'itizal", artinya menyisihkan diri. Kaum Muktazilah berarti kaum
yang menyisihkan diri. Ada beberapa pendapat yang menerangkan apa
sebab-sebab maka kaum ini dinamai kaum Muktazilah, yaitu: [3]
1.
Ada seorang guru besar di Bagdad, namanya Syeikh Hasan
Bashri (meninggal tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin 'Atha' (meninggal 131 H). Pada suatu hari Imam Hasan
Bashri menerangkan bahwa orang Islam yang telah beriman pada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan
mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap Muslim tetapi Muslim yang durhaka.
Di akhirat nanti, kalau ia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia dimasukkan ke
dalam neraka, untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi
sesudah menjalankan hukuman ia dikeluarkan dari dalam neraka dan dimasukkan ke
dalam surga sebagai seorang Mu'min dan Muslim.
Wasil mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang berbuat dosa
besar, mati sebelum ia bertobat, maka ia tidak mukmin lagi, tetapi pula kafir,
melainkan fasiq, berada pada posisi diantara posisi (almanzilah baina
al-manzilah). Kemudian ia menjauhkan diri dari majlis Hasan Al-Bashri, pergi
ket tempat lain di Masjid.
Al-Hasan
Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau
menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku
pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia
berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak
kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil
tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri
lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia
dan para pengikutnya dengan sebutan Muktazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya
dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah:
“Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin
yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan
karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak
sempurna).”[4]
Jadi dapat dikatakan secara bulat bahwa permulaan
munculnya faham Muktazilah pada permulaan abad ke II Hijriyah, dengan guru
besarnya Wasil bin 'Atha' dan Umar bin 'Ubeid. Yang berkuasa ketika itu Khalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Umaiyah, yaitu dari tahun 100-125 H.
2.
Ada pula orang mengatakan bahwa sebabnya maka
mereka dinamai Muktazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Muktazilah ini pada mulanya
adalah orang-orang Syi'ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin
'Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu'awiyah dari Bani Umaiyah.
Mereka menyisihkan diri dari siasah (politik) dan
hanya mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan
oleh Abdul Hasan Tharaifi, pengarang buku "Ahlul Hawa wal Bida", yang
dikutip oleh Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya yang bernama "As
Syafi'i". Kalau ucapan Tharaifi ini benar, maka tanggal permulaan gerakan
Muktazilah ini adalah sekitar tahun 40 Hijriyah, karena penyerahan pemerintahan
Saidina Hasan kepada Saidina Mu'awiyah adalah pada tahun 40 H.
Karena itu dalil Tharaifi ini tidak begitu kuat,
apalagi kalau dilihat dalam kenyataan-kenyataannya, bahwa orang-orang Muktazilah
dalam prakteknya bukan patah hati tetapi banyak sekali meneampuri soal-soal
politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al Ma'mun, Khalifah al Mu'tashim
dan Khalifah al Watsiq dan bahkan diantara mereka ada. yang duduk mendam-pingi
Kepala Negara sebagai penasehatnya.
3.
Ada penulis-penulis lain yang mengatakan bahwa kaum
Muktazilah itu adalah kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka
memakai pakaian yang jelek-jelek, memakai kain yang kasar-kasar, tidak mewah
dan dalam hidupnya sampai kederajat kaum minta-minta.
Keterangan ini
pun sangat lemah, karena dalam kenyataannya kemudian, banyak kaum Muktazilah
yang gagah-gagah, pakai rumah mewah-mewah, pakai kendaraan mewah-mewah, sesuai
dengan kedudukan mereka di samping khalifah-khalifah.
4.
Pengarang buku "Fajarul Islam" Ahmad
Amin, tidak begitu menerima semuanya itu. Persoalan kaum Muktazilah bukan sekedar
menyisihkan diri dari majlis guru, bukan sekedar menyisihkan diri dari
masyarakat atau sekedar tidak suka memakai pakaian mewah, tetapi lebih mendalam
dari itu. Mereka menyisihkan fahamnya dan i'itiqadnya dari faham dan i'itiqad
ummat Islam yang banyak.
5. Imron Abdullah berpendapat bahwa Muktazilah
lahir pada abad pertama sesudah hijrah. Pusatnya di sekitar Basra dan Baghdad,
mengalami masa kejayaan tahun 750-850 M. Karena pengaruh Yunani aliran ini
memberikan kedudukan tinggi pada akal, melibihi wahyu.
B. Ajaran-ajaran
Dasar Muktazilah
Ajaran-ajaran
dasar golonga Muktazilah berasal dair Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu
dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau lima ajaran
dasar yaitu:
1.
Al-Tauhid (Ke Maha
Esaan Tuhan)
Tauhid
adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik
golongan Muktazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka
dengan ahl al-tauhid.
At-tahuid
berarti ku ke Maha Esaan Tuhan. Menurut faham mereka Tuhan akan benar-benar
Maha Esa, apabila Tuhan merupakan zat unik, tiada yang serupa dengan Dia,
serupa dalam segala hal, dalam sifat-Nya, perubatan-Nya, ciptaan-Nya dan
sebagainya. Oleh karena itu mereka menolak faham antropomorphisme, yang
menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Tuhan tiada merupakan jisim
atua syakhs, Tuhan adalah zat yang qadim. Tiada sesuatu yang boleh qadim,
selain Tuhan. Sejalan dengan ajaran ini, Muktazilah berpendapat dengan nafy sifat
atau peniadaan sifat Tuhan, dalma arti Tuhan mengetahui bukan dengan sifat,
tetapi dengan zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan zat-Nya, berkehendak dengan
zat-Nya. Dengan kata lain Muktazilah meniadakan sifat Tuhan dalam arti sifat
yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Tiada berarti Tuhan tidak
diberi sifat-sifat. Tuhan bagi mereka tetap maha Mengetahui, maha mendengar,
maha hidup, maha kuasa dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan
dari zat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan itu merupakan esensi Tuhan
2.
Al-‘adl (Keadilan
Tuhan)
Hanya Tuhan
yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya
makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu
mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid wa al-‘adl. Dan dengan dasar
itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam semua
perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini
maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan demikian Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban seperti memberikan rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul
untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk membantu manusia dari
kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Hal ini tidak bisa diterima oleh golongan
Ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
Manusia dihukum oleh
Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan diberi pahala oleh-Nya kalau ia membuat
amal ibadat yang baik. Oleh karena itu kata kaum Muktazilah, sekalian perbuatan manusia di atas dunia
ini dibuat dan
diciptakan oleh manusia sendiri, biar perbuatan baik atau perbuatan buruk.
Semua pekerjaan manusia tak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan
tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh manusia
3.
Al-wa’d wa al-wa’id (Janji dan
Ancaman)
Dasar ajaran
ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Muktazilah yakni
bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala baig orang yang berbuat
baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti
dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Siapa yang berbuat
baik akan dibalas dengan kebikan atau pahala, sebaliknya orang yang berbuat
buruk akan dibalas dengan keburukan atau siksa. Tiada ampunan bagi orang
berbuat dosa besar tanpa ia bertobat, tiada sebagaimana faham murjiah yang
mengatakan bahwa dapat saja orang berbuat dos abesar tanpa berbuat Tuhan akan
mengampuni, jika Tuhan menghendaki. Yang erat
hubungannya dengan ajaran dasar ini ialah ajarannya tentang al-shalah wa
al-ashlah, yaitu berbuat baik dan terbaik bagi manusia, kemudian al-luthf,
pengiriman rasul kepada umat manusia dan al-qur’an bersifat qadim.
4.
Al-manzilah bain al-manzilatain (Posisi di
antara dua posisi)
Al-manzilah bain al-manzilatain berarti "posisi di antara dua
posisi." Yang dimaksud di sini ialah di antara mukmin dan kafir, bukan di
antara dua tempat, surga dan neraka. Menurut ajaran ini, orang yang melakukan dosa
besar tidak kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi
tidak pula mukmin karena imannya tidak sempura.[5]
Menurut
pandangan Muktazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai
matinya belum taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin,
tetapi diantara keduanya. Mereka itu dinamakan orangg fasiq, jadi mereka di
tempatkan di suatu tempat diantara keduanya.[6]
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Muktazilah, karena
merupakan awal persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir
golongan Muktazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum
sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir dan
ditempatkan pada suatu posisi diantara dua posisi.
5.
Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar (Perintah
untuk berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
Ajaran ini
sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Muktazilah saja, tetapi juga
dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan
ajaran tersebut menurut Muktazilah, bila perlu harus diwujudkan atau
dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan
penjelasan saja.
C.
Aliran-Aliran Dalam Kaum Muktazilah
Kaum Muktazilah
akhirnya terpecah atas banyak aliran, karena setiapnya mempergunakan akalnya
masing-masing, sedang akal mereka itu tidak sama, akibat pendidikan mereka
yang berlain-lain dan akibat zaman dan tempat mereka yang berbeda-beda.
Tetapi dalam
satu hal mereka semuanya hampir sepakat, bahwa perbuatan manusia, geraknya,
diamnya, perkataarinya, perbuatannya semuanya tidak dijadikan oleh Allah. Sebagian mereka memfatwakan bahwa pekerjaan
manusia diciptakan oleh manusia sendiri. Sebagian mengatakan tidak ada yang menjadikan, melainkan terjadi sendiri dan sebagian
mereka mengatakan bahwa semuanya terjadi saja sesuai dengan undang-undang alam. (Lihat Daeratul Ma'arif fil Qarnil Isyrin Juz VI
hal. 423).
Di antara aliran-aliran yang terbesar dari kaum Muktazilah
adalah:
1.
Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin 'Atha'.
2.
Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzel al 'Allaf.
3.
Aliran Nazamiyah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4.
Aliran Haithiyah, yaitu aliran Ahmad bin Haith,
5.
Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin
Mu'atmar.
6.
Aliran Ma'mariyah, yaitu aliran Ma'mar bin Ubeid as
Salami.
7. Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al
Mizdar.
8.
Aliran Tsamariyah, yaitu aliran Thamamah bin
Ar-rasy.
9.
Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al
Fathi.
10.
Aliran Jahizhiyah, yaitu aliran Utsman al Jahizh.
11.
Aliran Khayathiyah, yaitu aliran Abu Hasan al
Khayath.
12. Aliran Jubaiyah, yaitu aliran Abu Ali al
Jubai.
D.
Tokoh-tokoh
Muktazilah dan Pemikirannya
Aliran Muktazilah sudah melahirkan
para pemuka dan tokoh-tokoh yang
penting,
1.
Wasil bin
Atha (80-131 H/699-748 M),
Wasil bin Atha’ Al-Ghazal
dikenal sebagai seorang pendiri aliran Muktazilah, sekaligus
sebagai pemimpinya yang paling pertama.
Serta dia juga terkenal sebagai orang
yang telah menyimpan prinsip pemikiran kaum Muktazilah yang rasional.
Orang yang pertama yang meletakan kerangka dasar ajaran
kelompok Muktazilah. Ajaran pokok yang
didengungkannya ada tiga macam yaitu, faham al-Manzilah bain al-Manzilatain,
faham aliran Qodariah yang diambil dari
tokohnya Ma’bad dan Gailan, serta faham
yang ,meniadakan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran pokok itu lalu menjadi ajaran Muktazilah, yaitu “al-Manzilah
bain al-Manzilatain” dan peniadaan sifat-sifat Tuhan
2.
PemikirannyaAbu
Huzail al-Allaf (135-235 H),
Nama lengkapnya ialah Abdul
Huzail Muhammad Abu Al-Huzail Al-Allaf Ia
adalah sebagai pemimpin kaum Muktazilah
yang kedua di kota Basrah. Ia banyak
sekali menekuni filsafat bangsa Yunani.
Pengetahuanya mengenai filsafat
memudahkan utuknya dalam menyusun dasar-dasar ajaran Muktazilah
dengan teratur. Pengetahuanya
berkaitan dgn logika, membuat Ia menjelma menjadi
ahli dalam debat. Lawan-lawannya dari kaum zindik dari kelompok majusi, serta Zoroaster, dan atheis tidak mampu membantah argumen yang ia berikan.
Menurut suatu riwayat, 3000 orang telah masukIslam pada tanganya. Puncak kebesaranya
itu di raih pada waktu khalifah Al-Makmun, karena khalifah ini pernah
menjadi salah seorang muridnya.
3.
PemikirannyaBisyir
Al-Mu’tamir (wafat 226 H)
Ia merupakan pemimpin Muktazilah di kota Baghdad. Pandanganya
yang sangat luas berkenaandengan kasusastraan melahirkan prasangka bahwa ia merupakan orang yang pertama kali menyusun Ilmu
Balaghah. Ia jug seorang
tokoh aliran kelompok ini yang membahas konsep tawallud
(reproduction) yaitu batas2
pertanggung jawaban manusia atas kelakuaanya Ia memiliki
murid-murid yang sangat besar
pengaruhnya dalam penyebaran paham aliran Muktazilah, khususnya di Baghdad.
4.
An-Nazzam
(183-231 H),
Ia merupakan murid dari Abul Huzail
Al-Allaf. Ia juga banyak bergaul
dengan ahli fillsapat.
Pendapatnya itu banyak yang tidak samaa dengan
aliran Muktazilah lainya. Dia mempunyai ketajaman dalam berfikir yang sungguh luar biasa, antara lain tentang metode
keraguan serta metode
empirika yang merupakan cikal bakal lahirnya renainssance (pembaharuan) Eropa.
5.
Al-Jahiz Abu
Usman bin Bahar (w. 869),
Dia merupakan pencetus aliran naturalisme atau kepercayaan pada hukum alam yang oleh paham Muktazilah dinamakan sunnah Allah. dia diantaranya
menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia yu tidaklah bisa semuanya
diwujudkan manusia itu sendiri,
melainkan adanya pengaruh hukum alam.
6.
Al-Jubba’i
(w. 302 H),
Nama asli Al-Jubba’I di ambil dari nama kota kelahiranya, yaitu dari daerah yang bernama
Jubba, di provinsi CHuzestan-Iran. Dia merupakan guru imam Abu
Hasan al-Asy’ari, pendiri kelompok Asy’ariyah.
Pada saat Al-Asy’ari keluar dari barisan
Muktazilah serta menyerang
pendapatnya, Ia membalas serangan dari
Asy’ari tersebut. Pikirannya tentang
tafsiran Al-Qur’an banyak di ambil oleh Az-Zamakhsyari. Dia dan anaknya yaitu
Abu Hasyim Al-Jubba’I memperlihatkan akhir kejayaan mmenurut aliran Muktazilah
Pendapatnya yang mashur yaitu
mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah
SWT, kewajiban seorang manusia,serta daya ingat. Mengenai kalam Allah SWT, ia
sependapat sama dengan an-Nazzam.
Mengenai Sifat Allah SWT, ia menjrlaskan
bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, kalau disebutkan Tuhan berkuasa, atau berkehendak, dan mengetahui berarti Dia berkuasa,
juga berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya
itu. Tentang kewajiban umat manusia, ia membaginya kedalam dua kelompok yaitu
kewajiban-kewajiban yang pahami oleh manusia dengan akalnya (wajibah ‘aqliyah) dan
kewajiban-kewajiban manusia melalui
ajaran-ajaran yang dibawa para rasul
serta para nabi (wajibah syar’iah). Sementara
itu, daya akal menurut pendapat
al-Jubba’i sangatlah besar. melalui
akalnya, manusia bisa mengetahui adanya
Tuhan serta kewajiban untuk bersyukur kepada-Nya. Akal manusia seterusnyan
dapat mengenal apa-apa yang baik dan yang buruk serta mengetahui
kewajiban berbuat baik serta
meninggalkan yang buruk. Pendapat ini menjadi bagian dari ajaran Muktazilah
yang penting.
7.
Mu’ammar bin
Abbad,
Dia merupakan pendiri Muktazilah aliran kota Baghdad. Pendapatnya yang penting
yaitu mengenai kepercayaan pada hukum
alam, sama seperti pendapat al-Jahiz. Ia
menyatakan bahwa Tuhan hanya menjadikan benda-benda materi saja , sementara al-‘arad
atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah
hasil dari hukum alam itu. Contohnya,seperti
jika sebuah batu dilempar kedalam air, maka gelombang yang
dihasilkannya oleh lemparan batu itu
merupakan hasil atau kreasi dari batu
itu, bukan hasil ciptaan dari Tuhan.
8.
Bisyr
al-Mu’tamir (w. 210 H),
Ajarannya yang terpenting
berkaitan dengan pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Baginya, anak seorang
kecil tidak diminta pertanggungjawaban atas kelakuaanya diakhirat kelak
karena ia belum termasuk mukalaf. Seorang yang berdosa besar lalu bertobat,
kemudian mengulangi lagi melakukan dosa besar, akan menerima siksa ganda,
meskipun ia sudah bertobat atas dosa besarnya yang telah lalu.
9.
Abu Musa
al-Mudrar (w. 226 H),
Dia dianggap sebagai pemimpin Muktazilah yang sangat ekstrim karena pendapatnya yanggampang
mengkafirkan orang lain. Menurut Syahrastani, menuduh kafir semua orang yang
meyakini keqadiman al-Quran. Ia juga membantah pendapat bahwa Allah SWT
bisa dilihat dengan mata kepala akhirat.
10.
Hisyam bin
Amr al-Fuwati,
Dia berpendapat bahwa apa yang
disebut surga dan neraka hanyalah ilusi
semata, belum ada wujudnya pada saat ini. Alasannya yang dikemukakan adalah tidak ada manfaat
menciptakan surga serta neraka sekarang karena belum saatnya orang memasuki surga dan neraka.
11.
Sumamah bin
Asyras (w. 213 H),
Dia berpendapat bahwa manusia sendirilah
yang melahirkan perbuatan-perbuatannya
karena dalam dirinya sudah tersedia daya
untuk berbuat. Tentang daya akal, ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum
datangnya wahyu bisa tahu adanya Tuhan serta mengenal perbuatan
yang baik dan perbuatan buruk, wahyu
hanya turun untuk memberikan konfirmasi.
12.
Abu
al-Hussain al-Khayyat (w. 300 H),
Dia mengatakan penafsiran yang berbeda dengan para pemuka Muktazilah lainnya mengenai peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa seandainya Tuhan disebut berkehendak, maka
keinginan Tuhan itu bukanlah sifat yang
melekat pada zat Tuhan dan tidak pula
diwujudkan melalui zat-Nya. Jadi, kehendak Tuhan itu bukanlah zat-Nya, melainkan
diinterpretasikan oleh Tuhan mengetahui
serta berkuasa mewujudkan perbuatan-Nya
selaras dengan Pengetahuan-Nya.
13.
Al-Qadhi
Abdul Jabbar (w. 1024 H)
Dia angkat
sebagi hakim oleh Ibnu Abad. Diantara bagian karyanya
yang besar ialah tentang
ulasan pokok-pokok ajaran Muktazilah. Karangan itu demikian luas dan amat sangat mendalam yang ia sebut Al-Mughni. Kitab ini begitu besar, satu kitab yang
terdiri lebih dari (15) lima belas jilid. Dia tergolong tokoh
yang hidup pada jaman
kemunduran aliran Muktazilah namun Ia bisa berprestasi
baik dalam bidang keilmuan maupun pada jabatan
kenegaraan.
14.
Az-Zamakhsyari
(467-538 H).
Dia
dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarizm, negara Iran. Sebutan Jarullah artinya ialah tetangga
Allah, karena memang beliau
lama hidup di kota mekah, dekat ka’bah. Ia terkenal sebagai tokoh
dalam Ilmu Tafsir, serta nahwu,
dan paramasastra. Dalam karanganya Ia secara terang-terangan memperlihatkan faham Muktazilah. Seperti Misalnya
dalam kitab tafsir Al-Kassyaf, ia berusaha menafsirkan ayat2 Al-Qur,an berdasarkan ajaran-ajaran Muktazilah,
terutama lima prinsip ajaranya yang akan di bahas pada Sub-Bab
berikutnya. Selain itu kitab Al-Kassyaf dijelaskan dalam ilmuBalaghah yang tinggi, sehingga para mufassirin banyak yang memakainya hingga
saat ini.
E.
Gerakan Kaum Muktazilah
Gerakan kaum Muktazilah pada permulaannya mempunyai
dua cabang:
1.
Cabang Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Wasil bin
'Atha' (meninggal 131 H.) dan Umar bin Ubeid (meninggal 144 H) dengan
murid-imiridnya, yaitu Usman at Thawil, Hafasah bin Salim, Hasan bin Zakwan,
Khalid bin Safwan dan Ibrahim bin Yahya al Madani.
Ini pada
permulaan abad ke II Hijriyah. Kemudian pada permulaan abad ke III Cabang
Basrah ini dipimpin oleh Abu Huzeil al Allaf (meninggal 235 H.), Ibrahim bin
Sayyar an Nazham (meninggal 221 H.), Abu Basyar al Marisi (meninggal 218 H),
Utsman Al Jahizh (meninggal 255 H.), Ibnu al Mu'tamar (meninggal 210 H.) dan
Abu 'Ali Al Jubai (meninggal 303 H.).
2.
Cabang Bagdad (Iraq). Cabang ini didirikan oleh
Basyar bin al Mu'tamar, salah seorang pemimpin Basrah yang pindah ke Bagdad
kemudian disokong oleh pembantu-pembantunya, yaitu Abu Musa al Murdar, Ahmad
bin Abi Daud (meninggal 240 H.), Ja'far bin Mubassyar (meninggal 234 H.), dan
Ja'far bin Harb al Hamdani (meninggal 236 H.).
Imam-imam Muktazilah
di sekitar abad ke II dan ke III H. di Basrah dan di Bagdad. Adapun Khalifah-Khalifah Islam yang terang-terangan
menganut atau sekurangnya menyokong faham Muktazilah adalah :
1.
Yazid bin Walid, Khalifah Bani Umayyah (berkuasa
pada tahun 125 dan 126 H.)
2.
Ma'mun bin Harun Rasyid, Khalifah Bani Abbas
(berkuasa dari tahun 198 sampai 218 H.)
3.
Al Mu'tashim bin Harun ar Rasyid (berkuasa dari
tahun 218 H. sampai 227 H.)
4.
Al Watsiq bin al Mu'tashim (berkuasa dari tahun 227
H. sampai 232 H.).
Empat orang Khalifah Islam yang menganut terang-terangan
atau sekurangnya menyokong faham Muktazilah. juga dicatat gembong-gembong dan
pengarang-pengarang Muktazilah yang datang kemudian, yaitu:
1.
Utsman al Jahizh, pengarang kitab "Al
Hewan" (Wafat: 255 H).
2.
Syarif Radii, pengarang kitab "Majazul
Quran" dan "Haqaiqut Tanzil" (wafat: 406H.).
3.
Abdul Jabbar bin Ahmad yang dimasyhurkan dengan
gelar julukan Qadli-Qudlat (Qadli dari sekalian Qadli), pengarang kitab
"Syarah Ushulil Khamsah" (wafat: 415).
4.
Zamakhsyari, pengarang kitab Tafsir "Al
Kasyaf", yaitu kitab Tafsir yang dikatakan oleh Imam Jamaluddin Al Qasimi
penuh dengan faham-faham Muktazilah (wafat: 528).
5.
Ibnu Abil Hadad, pengarang kitab "Syarah Nahjul
Balagah", seorang pengarang dan pemimpin Syi'ah-Muktazilah (wafat: 655 H). Kitab-kitab yang
tersebut ada pada Kutubkhanah.
F.
Kedudukan Akal Bagi Muktazilah
Sepanjang
sejarah tersebut bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Muktazilah ialah cara
mereka membentuk madzhabnya, banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal,
bukan mengutamakan Quran dan Hadits. Kalau ditimbang akal dengan hadits Nabi, maka akal lebih berat bagi mereka. Mereka lebih
memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi.
Barang sesuatu
ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya, mana yang tidak sesuai dengan akalnya
dibuangnya, walaupun ada hadits atau ayat Quran yang berkaitan dengan masalah itu tetapi berlawan dengan akalnya. Akal bagi kaum Muktazilah di atas dari Quran dan
hadits sebaliknya bagi kaum Ahlussunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa Quran dan
hadits lebih tinggi dari akal.
1.
Tentang mi'raj Nabi Muhammad SAW. Kaum Muktazilah tidak menerima adanya mi'raj
walaupun ada ayat Quran atau hadits Nabi yang sahih menyatakan hal itu, karena
hal itu katanya bertentangan dengan akal.
2.
Kaum Muktazilah menolak adanya bangkit dikubur dan
siksa kubiur. Hal itu
katanya bertentangan dengan akal, karena mus-tahil orang yang sudah mati
dan terbaring dalam tanah yang sesempit itu dibangunkan dan disuruh duduk,
walaupun ada hadits sahih yang menyatakan hal ini.[7]
Sou’yb,
Joesoef berpendapat bahwa aliran Muktazilah itu bertitik-tolak pada kemestian
memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Muktazilah memahamkannya
itu merupakan kekuatan yang tertahankan.
Persoalan-persoalan
yang dipermasalahkan Muktazilah dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.
Masalah
mengetahui Tuhan;
b.
Masalah
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
c.
Masalah
mengetahui baik dan jahat;
d.
Masalah
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat
Aliran Muktazilah
berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai melalui akal,
meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi secara garis besar
akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu
yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal.
Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan
memberikan perincian terhadap pengetahuan yang telah dicapai oleh akal.
Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban manusia berterima
kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada
Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya.
Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.
G.
Perkembangan Al-Muktazilah Selanjutnya
Almihnah merupakan lembaran hitam yang tidak dapat dilupakan
dalam sejarah pemikiran Islam. Hal itu terjadi pada masa pemerintahan al-Mu'minun dari Bani Abbas dan dilakukan untuk membersihkan keyakinan masyarakat dari
paham syirik serta mengembalikannya kepada paham tauhid vine murni sesuai
dengan tuntunan Alquran.
Keyakinan umat
Islam pada waktu itu tidak murni lagi dalam pandangan al-Muktazilah karena telah bercampur dengan paham syirik. Keyakinan dimaksud terdapat dalam paham ulama-ulama tradisional terutama dari ahli fiqh dan dalil hadist, yang dianggap berpikiran sempit karena pembuktian mereka tidak kepada
pembuktian yang mencerminkan tauhid yang murni. Mereka lainya mengulangi ajaran lama tanpa minat untuk menganalisis data-data yang terdapat dalam Alquran.
Di antara paham yang berkembang tersebut adalah
keyakinan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah dan ia qadim, sedangkan al-Muktazilah mempunyai paham bahwa Alquran itu ciptaan Allah yang terdiri dari huruf, suara, dan kalimat. Oleh sebab itu, Alquran pasti baru. Qadim Alquran dalam
pandangan Muktazilah membawa kepada paham syirik. Syirik adalah satu dosa besar yang tidak diampuni.
H.
Kemunduran Golongan Muktazilah
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Muktazilah mencapai
kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini
sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri. Mereka hendak membela,
memperjuangkan kebebasan berpikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi
orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan
mereka ialah ketika Al-Makmun menjadi khalifah di mana mereka dapat memaksakan
pendapat dan keyakinan mereka kepada golongan-golongan lain dengan menggunakan
kekuasaan Al-Makmun, yang mengakibatkan timbulnya "Peristiwa Quran"
yang memecah kaum Muslimin menjadi dua blok, yaitu blok yang menuju kekuatan
akal pikiran dan menundukkan agama kepada ketentuannya dan blok lain yang
berpegang teguh kepada bunyi nas-nas Quran dan Hadis semata-mata dan menganggap
tiap-tiap yang baru sebagai bid’ah dan kafir.[8]
Akan tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi, dengan tindakan
Al-Mutawakkil, lawan golongan Muktazilah, untuk mengembalikan kekuasaan
golongan yang mempercayai keazalian Quran. Sejak saat tersebut golongan
Muktazilah mengalami tekanan berat, sedang sebelumnya menjadi pihak yang
menekan. Kitab-kitab mereka dibakar dan ke-kuatannya dicerai-beraikan sehingga
kemudian tidak lagi ada aliran Muktazilah sebagai suatu
golongan, terutama sesudah Al-Asy'ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang
pemi-kiran.
Akan tetapi mundurnya golongan Muktazilah sebagai golongan yang teratur
tidak menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan pengikut-pengikut yang setia
yang menyiarkan ajaran-ajarannya. Pada akhir abad ketiga Hijrah muncullah
Al-Khayyat yang dianggap sumber yang asli untuk mengetahui pikiran-pikiran
Muktazilah. Pada permulaan abad keempat, muncullah Abu Bakar al-Ikhsyidi (wafat
320 H atau 932 M), dengan alirannya yang sangat berpengaruh selama abad
keempat. Ulama Muktazilah angkatan baru yang terkenal ialah Az-Zamakhsyari
(467-538 H/ 1075-1144 M) yang menafsirkan Quran atas dasar ajaran-ajaran
Muktazilah, dengan nama AlKasysyaf. Tafsir ini sangat
berpengaruh, dan lama sekali menjadi pegangan oleh Ahli Sunah, sampai lahirnya
Tafsir Baidawi. Kegiatan kaum Muktazilah baru hilang sama sekali setelah adanya
serangan-serangan orang Mongolia. Meskipun demikian, pikiran-pikiran dan
ajaran-ajarannya yang penting masih hidup sampai sekarang pada golongan Syi'ah
Zaidiyah.[9]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perkataan
"Muktazilah" berasal dari kata "i'itizal", artinya menyisihkan
diri. Kaum Muktazilah berarti kaum yang menyisihkan diri. Ada beberapa pendapat yang menerangkan apa
sebab-sebab maka kaum ini dinamai kaum Muktazilah
1.
Muktazilah
adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang
Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran
teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan
‘ Amru bin Ubaid.
2.
Muktazilah
muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai
diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa
besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal
dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi
orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina
al-manzilatain.
3.
Mu`tazilah
mempunyai lima ajaran dasar, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat.
4.
Secara
harfiah Muktazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran
Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya
bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam
Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat.
B.
Rekomendasi
Dari
kajian tentang aliran muktazilah serta garis besar pemikirannya dapat dipahami
bahwa agama islam merupakan agama yang kaya dengan corak pemikiran. Jika
dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam
itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran.
Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan
bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak
sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam
umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah
teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Muktazilah.
Dari uraian mengenai aliran muktazilah serta garis besar pemikirannya,
dapat penulis merekomendasikan bahwa:
1.
Pemahaman terhadap aliran muktazilah jangan
dipandang dari sisi negatifnya atau mengklaim sebagai aliran sesat, akan tetapi
dengan pemahaman muktazilah tersebut para ilmuan-ilmuan muslim dapat mengkaji
lebih mendalam lagi sisi positif yang diambil dari ajaran muktazilah tersebut.
2.
Semua permasalah dapat dicapai atau dikaji
melalui akal manusia, tuhan mengilhami manusia dengan akal, maka tuhan telah
memberikan kewenangan kepada manusia menurut akal dan pikiranya, sehingga dapat
menentukan perbuatan yang baik dan buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Rozak, Anwar, Rosihan. 2009. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia
Ahmad Hanafi, 2001, Teologi Islam (Ilmu
Kalam). Jakarta: Bulan Bintang
Asghar Ali Engineer, 2006,
Islam dan Teologi Pembahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
H. Abdul Halim, 2005, Teologi
Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution,
Jakarta: Ciputat Press
Harun Nasution, 2003, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang
KH. Siradjudin ‘Abbas, 1985, I’itiqad
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah
M. Amin Nurdin dan Afifi
Fauzi Abbas, 2014, Sejarah Pemikiran Islam; Teologi-Ilmu Kalam, Jakarta:
Sinar Grafika Offset
Madkour,
Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam, penterjemah : Yudian
Wahyudi Asmin, Jakarta: Bumi Aksara
Sharif
(ed). 2004. Aliran-aliran Filsafat Islam. Bandung : Nuansa Cendekia
Fotenote
[1] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori
Filsafat Islam, penterjemah: Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta: Bumi Aksara,
2009.
hlm. 46-47
[2] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu
Kalam). Jakarta: Bulan Bintang. 2001. hal. 64
[3] KH. Siradjudin ‘Abbas, I’itiqad
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1985. Hal. 174
[4] Al Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal,
Beirut : Dar al Fikr, hlm. 47-48
[6] Abdul Rozak, Anwar, Rosihoa. Ilmu
Kalam, Bandung: Pustaka Setia 2009, hal.78
[7] KH. Siradjudin ‘Abbas, I’itiqad
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1985. Hal. 177
[8] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu
Kalam). Jakarta: Bulan Bintang. 2001. hal. 62
[9] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu
Kalam). hal. 63
Comments
Post a Comment